Selasa, 20 April 2010

Cemburu?

Cemburu, atau yang sering kita kenal dengan istilah jeles (jealous), adalah sikap emosi kita terhadap orang yang kita anggap sebagai rival atau ancaman. Cemburu juga merupakan keadaan takut atau was-was atas hilangnya seseorang yang kita anggap penting. Reaksinya bisa aversif (tak mau didekati) atau protektif (menjadi seperti polisi).

Cemburu bisa terjadi pada urusan cinta asmara remaja, hubungan suami-istri, atau keinginan yang memiliki nilai tertentu, seperti jabatan atau penghasilan. Ketika kita cemburu, luapan emosi yang muncul antara lain adalah:

§ Takut kehilangan
§ Was-was terhadap munculnya penghianatan
§ Merasa kurang berguna atau sedih
§ Hidup terasa seperti tidak jelas dan merasa sendiri
§ Tidak percaya
§ Jengkel, marah atau gregetan

Dalam prakteknya, kecemburuan itu sedikitnya bisa memainkan dua fungsi. Fungsi pertama bisa dibaca sebagai tanda adanya rasa cinta. Laki-laki atau perempuan yang malu mengatakan cintanya secara langsung, terkadang menggunakan sikap atau pernyataan cemburu sebagai utusan.

Sedangkan fungsi yang kedua, kecemburuan bisa dirasakan sebagai perusak cinta. Kecemburuan seperti inilah yang diebut cemburu buta atau cemburu yang oleh para ahli disebut pathological jealousy (cemburu tidak sehat). Orang yang menjadi sasaran cemburu seperti ini, biasanya malah ingin mengganggalkan harapan si pencemburu, misalnya malah ingin jauh, risih, atau jengkel.

Beberapa tanda yang bisa kita rasakan adanya kecemburuan yang tidak sehat itu antara lain adalah: ketika sebab-sebabnya tidak faktual atau tidak ada petunjuk untuk cemburu, dirundung ketakutan dan kegelisahan yang lama, intensitas kecermburuannya sudah menganggu aktivitas lain karena pikiran kita terancam oleh “jangan-jangan”, memunculkan perasaan putus asa atau minder.
Pada cemburu yang sehat, masalahnya secara umum bersumber dari orang lain yang kita anggap kurang menaati kode etik, kurang membaca rasa, atau kurang mengindahkan hubungan. Tetapi, pada cemburu yang sudah tidak sehat, kemungkinan besar masalahnya ada di dalam diri kita. “It’s not about what happen to you, but about what is happening in you”

Rasa Takut
Apa yang menyebabkan seseorang cemburu secara pathologis? Dilihat dari sumber motifnya, banyak kajian yang berhasil mengungkap bahwa sebab penentunya (determinant) adalah rasa takut dan resah (feeling of fear and feeling of inadequacy). Rasa takut yang sudah menjadi motif hidup berbeda dengan rasa takut yang tidak / belum menjadi motif.

Bila kita takut ke luar rumah karena petir dan angin sedang mengamuk, maka takut seperti ini tidak menjadi motif. Kita takut karena ada sesuatu yang pantas untuk ditakuti. Takut seperti ini sehat dan kita butukan supaya tidak terlalu nekat, konyol atau sembrono. Bayangkan jika kita tak takut bahaya atau kerugian, apa akibatnya?

Takut yang sudah menjadi motif hidup terkait dengan kecemasan, kecurigaan, dan rasa terancam oleh “jangan-jangan” yang tak terkendalikan oleh kita (obsesif-kompulsif) sehingga mengganggu “kenormalan” kita, termasuk yang terkait dengan hubungan kita dengan pasangan atau dengan yang lain.

Sumbernya yang paling fundamental adalah kita merasa tidak punya pegangan, baik itu nilai-nilai, pemikiran, keyakinan, penilaian atau skill tertentu yang membuat kita punya alasan kuat bahwa kita “pede” atau mampu menguasai keadaan, terutama keadaan internal di dalam diri kita.

Sebagai reaksi atas perasaan itu, kita memunculkan mekanisme untuk menciptakan rasa aman. Salah satu mekanisme yang kita pilih adalah cemburu secara tidak sehat atau menolak mengambil inisiatif yang sehat untuk menyelesaikan problem, misalnya mengajak diskusi atau sharing dengan pasangan atau calon. Kita uring-uringan sendiri, was-was sendiri, beku sendiri.

Jika sudah menjadi motif, sumber itu tidak muncul secara tiba-tiba. Secara umum, ada rentetan panjang yang menjadi latar belakangnya. Mungkin dari pola pengasuhan waktu kecil yang terlalu memberi batasan atau kekhawatiran (rigid parenting) sehingga kesempatan kita untuk menjajal berbagai pengalaman dan ketrampilan sangat minim (mental construction).

Atau bisa juga muncul dari interpretasi kita atas kejadian masa lalu yang traumatik, baik yang menimpa kita langsung atau tidak langsung, misalnya menimpa sang kakak, adik, orangtua atau keluarga. Trauma yang gagal kita netralisir, dapat membuat kita terkuasai sehingga obsesif-kompulsif, alias tersiksa oleh rasa dan terbelenggu oleh cemburu.

Keresahan
Resah pun demikian. Ada keresahan yang memang masih pantas untuk diresahkan atau yang biasa disebut duka, sedih atau kecewa. Misalnya kita kehilangan pekerjaan, kehilangan orang tercinta, kegagalan mengikuti tes PNS padahal sudah membayar sana-sini. Sebagai reaksi sesaat, kesedihan dan kedukaan itu normal, alias manusiawi.

Tapi, ada resah yang memang sudah menjadi motif atau sudah menjadi virus yang menyerang sistem di dalam jiwa kita. Resah seperti ini muncul dari kebingungan yang tak terselesaikan (depresi) sehingga memunculkan keputusasaan dan patah harapan yang merupakan konsekuensi logis dari melemahnya kreativitas dalam menghadapi masalah.

Seperti apa yang pernah ditulis Abraham Maslow, jika alat yang engkau miliki hanya palu, maka engkau akan menganggap semua benda bagai paku. Karena kita melihat persoalan hanya satu perspektif, maka cara yang akan kita tempuh untuk menghadapinya juga satu. Biasanya, jika kreativitas kita rendah atau dalam keadaan depresi, kita akan cenderung memilih cara yang tak perlu berpikir panjang, seperti cemburu secara tidak sehat.

Laporan hasil studi APA (American Psychological Association: 2010) mengungkap bahwa kerentanan seseorang terhadap kecemburuan itu terkait dengan self-worth (pede, bahagia, optimisme, dst). Artinya, semakin rendah sef-worth seseorang, akan semakin rentan dia untuk cemburu. Kecemburuan itu bisa agresif, seperti marah dengan penyerangan. Atau juga bisa pasif, seperti ngambek dan menarik diri di kamar.

Darimana Mulai Bekerja?
Semua orang berhak untuk cemburu karena memang ada porsi yang dibutuhkan untuk menandai hubungan kita dengan orang tertentu yang menurut kita penting, seperti pasangan atau pacar. Hal lain lagi yang perlu kita sadari juga bahwa semua orang pada dasarnya memiliki kerentanan untuk cemburu secara patologis, seperti juga kita rentan terhadap penyakit

Alasannya adalah, siapa yang tak punya potensi ketakutan dan keresahan? Hanya memang ketika porsinya sudah kebabalsan (akut) dan dampaknya sudah merugikan, maka tindakan kuratifnya (pengobatan) harus segera kita lakukan. Tindakan kuratif ini perlu ada yang didasarkan pada outcome (hasil) yang nyata di depan mata dan ada yang perlu didasarkan pada outcome yang tidak nyata.

Bentuk tindakan yang outcome-nya nyata itu antara lain misalnya saja:

§ Melakukan aktivitas yang hasilnya dapat membuat kita feeling good, seperti merapikan perabot rumah, persiapan kerja atau sekolah, care terhadap orang lain, dll
§ Menjalankan agenda pengembangan-diri sesuai keadaan dan kebutuhan, misalnya menambah skill, ketrampilan tertentu, atau kebisaan tertentu sampai membuat kita meyakini punya pegangan
§ Menempuh berbagai cara dengan motivasi yang tinggi untuk mewujudkan agenda pengembangan-diri itu.
§ Berdiskusi dengan pasangan mengenai hal-hal yang perlu kita capai agar pikiran tidak beku
§ Bergaul atau berkumpul dengan orang-orang yang membuat pikiran kita terus dinamis

Intinya, tindakan yang nyata itu adalah berbagai tindakan yang hasilnya nantii dapat mengurangi ketakutan yang ada di dalam diri kita karena merasa kurang (feeling of lack) atau merasa tidak punya pegangan (feeling of empty). Atau juga tindakan yang melatih pikiran kita untuk kreatif dalam menghadapi masalah supaya tidak gampang resah (feeling of contented).

Supaya tindakan itu memiliki pondasi yang kuat, maka perlu ada aksi-aksi batin (spiritualitas) untuk menggali vitalitas hidup. Banyak orang yang sudah tahu dan sangat ingin melakukan tindakan kuratif mengatasi masalahnya. Tetapi prakteknya, keinginan dan pengatahuan itu kurang berguna karena dikalahkan oleh kemalasan dan kesulitan.

Ini pun dapat terjadi pada kita jika pondasi spiritualnya (keimanan) tidak ada atau tidak kuat. Untuk membangun pondasi itu, hal-hal yang penting untuk kita lakukan antara lain:

§ Temukan pemikiran yang membuat Anda lebih “pede”, lebih kuat atau lebih bahagia dalam menghadapi hidup, dari bacaan, ajaran atau orang lain
§ Temukan keyakinan yang membuat Anda lebih tegar, dari orang lain, bacaan, atau ajaran
§ Hentikan atau alihkan semua pemikiran yang membuat Anda makin merasa tidak pede, merasa ringkih atau hancur
§ Bangun kedekatan dengan Tuhan melalui jalan keimanan

Iman adalah sebuah kesimpulan batin yang membimbing kita untuk meyakini (hati, lisan dan tindakan) adanya Tuhan atau kekuatan yang di luar lingkaran kita dan orang-orang yang kita cemburui itu. Kesimpulan itu idealnya dibangun dari pembelajaran, pengetahuan dan pengalaman, supaya dapat mengurangi rasa takut dan rasa gelisah (laa khoufun alaihim walaa hum yahzanuun).

Misalnya, kita tersiksa oleh kecemburuan terhadap seseorang yang keberadaannya di luar kontrol kita, katakanlah bekerja di luar negeri atau di luar kota. Apa yang akan kita jadikan pegangan? Akal? Tehnologi? Atau perasaan? Itu semua dibutuhkan, tetapi tak sanggup mengalahkan ketakutan dan kegelisahan sehingga perlu pegangan lain yang sifatnya spiritual.

Sama juga misalnya kita dikhianati orang secara nyata. Jika hanya berpedoman pada akal, mungkin kita akan terlibat dalam saling menuntut, saling membalas, saling menghukum. Terkadang ini diperlukan asalkan proporsional. Kalau kebablasan, ini akan merusak kita. Begitu juga dengan perasaan. Jika kita jadikan pedoman tunggal, maka akan melibatkan kita pada merasa hancur atau kecewa.

Supaya tidak sampai kebablasan, maka larinya harus ke pegangan hidup yang sifatnya spiritual atau nilai-nilai abstrak yang membuat hidup kita tetap punya ketahanan (keimanan). Oleh Napolen Hill, iman itu disebutnya dengan istilah The Infinitive Intelligence atau kecerdasan yang sanggup membuat kita melihat kenyataan di balik kenyataan.

Intinya, untuk mengatasi kecemburuan yang patologis itu perlu melibatkan empat kapasitas inti dalam diri, yaitu tindakan nyata (pengembangan-diri), nalar (kalkulasi), perasaan (membedakan sensitivitas), dan keimanan (keyakinan yang membebaskan kita dari rasa takut dan gelisah.

Disunting dari : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=625
Oleh : Ubaydillah, AN, Jakarta, 05 Maret 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar