Senin, 26 April 2010

Cara Mengendalikan Rasa Marah ^^

Bagaimana cara mengendalikan dan mengatasi rasa marah? Pada umumnya pria cenderung lebih cepat marah dan agresif dibandingkan wanita. Sifat ini disebabkan oleh pengaruh hormon testoteron terhadap proses perkembangan otak bayi lelaki sejak masih dalam kandungan.

Penyebab lainnya yaitu faktor sosio-kultural. Beberapa kalangan masih menganggap kemarahan sebagai suatu hal yang negatif. Seseorang boleh saja mengekspresikan perasaan tegang dan tertekannya, kecuali marah. Akibatnya banyak yang tidak tahu bagaimana cara untuk mengungkapkan rasa marah secara tepat.

Cara ini tidak mudah dilakukan, yaitu mengekpresikan rasa marah secara terbuka tanpa melakukan tindakan agresif (menyerang). Perlu belajar memahami apa yang sebenarnya anda inginkan tanpa menyakiti orang lain.

Penelitian lainnya juga menemukan bahwa faktor keluarga turut memegang peranan. Orang menjadi mudah marah, biasanya berasal dari keluarga korban perceraian, sering bertikai, membentak dan tidak cukup memiliki komunikasi emosional.

Apakah anda pemarah?

Rasa marah berperan penting karena merupakan komponen yang mematikan dari sindroma kepribadian tipe A. Kepribadian tipe A memiliki ciri yang sangat berbeda dengan tipe kepribadian B. Berikut adalah ciri-ciri kepribadian tipe A:

Memiliki sifat selalu tergesa-gesa dalam menjalankan sesuatu
Berbicara dengan cepat dan seringkali memotong pembicaraan orang lain
Memiliki rasa bersaing tinggi bahkan dalam situasi non kompetitif
Cenderung ingin berprestasi dan selalu bersikap waspada
Mengambil sikap bermusuhan dan agresif
Jika ternyata kepribadian diatas cocok dengan anda, mulai saat ini anda sebaiknya untuk mengendalikan rasa marah anda. Berikut adalah tips untuk mengendalikan rasa marah:

Tetap berkepala dingin
Cara terbaik untuk mengatasi rasa marah adalah dengan mengetahui hal-hal yang memicunya dan mencegah agar faktor pemicu tersebut tidak sampai membuat seseorang kehilangan kontrol.

Bersikap rileks
Cara ini terlihat biasa, tetapi memiliki efek yang penting. Pada saat anda merasa ingin meledak, cobalah untuk menarik nafas dalam-dalam sebanyak dua atau tiga kali kemudian keluarkan secara perlahan-lahan. Ketika anda sedang menarik nafas dalam-dalam,ucapkan kata-kata “rileks” atau “tenang” secara perlahan.

Ubah cara berpikir
Dari pada anda memaki-maki dalam hati, “Huh, semuanya jadi kacau begini!” Cobalah untuk menggantinya dengan kalimat, “Kekacauan ini bukan akhir dari segalanya, kan? Percuma saja saya marah-marah, toh tidak akan menyelesaikan masalah.”

Komunikasi
Seorang yang biasanya marah, akan cepat sekali mengambil kesimpulan dan seringkali keliru. Jadi, langkah pertama yang perlu dilakukan dalam suasana memanas, cobalah tenangkan diri anda dan berpikir jernih. Pada saat yang bersamaan cobalah untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicara anda dan pikirkan baik-baik sebelum menjawabnya.

Bercanda dan bercerita lucu
Mungkin anda kadang-kadang merasa jenuh atau kesepian selagi di tempat kerja. Bila hal ini terjadi, cobalah untuk bercanda dengan teman sebelah anda atau di depan anda. Becanda dan saling bertukar cerita lucu mampu meredakan ketegangan. Jika tidak memungkinkan, silahkan baca atau lihat gambar-gambar lucu dari buku maupun internet.

Selasa, 20 April 2010

Jangan Abaikan 'Sinyal' Tubuh

Anda pasti pernah mengalami kedutan, cegukan atau kuping berdenging.
Sayangnya, sebagian besar dari Anda seringkali mengabaikan tanda-tanda
tubuh tersebut. Padahal menurut dr. Karen Wolfe, penulis buku Create The
Body Your Soul Desires, mengatakan bahwa tubuh yang mengalami kedutan atau
cegukan bisa menjadi pertanda bahwa tubuh Anda sedang mengalami gangguan
ringan.

Namun meskipun gangguan tersebut tergolong ringan, tidak berarti Anda
harus mengabaikannya. Sebab, dengan memahami 'sinyal' yang diberikan oleh
tubuh diharapkan Anda dapat lebih peduli pada tubuh sehingga tubuh menjadi
lebih sehat.

Kedutan pada kelopak mata
Gerakan tak sadar yang diberikan oleh bagian tubuh Anda ini menandakan
bahwa tubuh Anda kurang beristirahat dan tidur. Bahkan para ahli kesehatan
sepakat, 99% kekejangan pada mata disebabkan karena tubuh Anda didera
stres dan lelah yang amat sangat. Tak ada cara lain yang bisa Anda lakukan
untuk menghentikan kedutan pada mata ini selain membiarkan tubuh dan mata
Anda untuk beristirahat. Mengompres mata Anda dengan air hangat untuk
beberapa saat juga sangat membantu.
Tebal
Menguap terus
Menguap tidak selalu berarti mengantuk. Menguap, juga merupakan sinyal
dari alam bawah sadar Anda bahwa tubuh Anda kurang bergerak. Misalnya,
Anda terlalu serius bekerja sehingga menghabiskan lebih dari lima jam
duduk di depan komputer. Terlalu banyak menguap bisa juga berarti bahwa
oksigen di dalam otak Anda sedang menurun jumlahnya. Hati-hati, kondisi
ini bisa menurunkan tingkat kewaspadaan serta kosentrasi Anda terhadap
pekerjaan dan lingkungan di sekitar Anda.
Tebal
Cegukan
Anda cegukan padahal Anda tidak sedang makan apapun. Kondisi ini menjadi
sinyal bahwa tubuh Anda sedang mengalami stres. Hal ini karena cegukan
melepaskan hormon stres ke dalam aliran darah, kemudian merangsang serat
saraf secara berlebihan. Akibatnya, terjadi kontraksi otot tak sadar yang
terletak di dekat pita suara sehingga menimbulkan bunyi. Cara termudah
untuk meredakan cegukan Anda adalah dengan cara menelan sedikit gula
pasir. Butiran gula pasir akan menstimulir ujung saraf di balik
kerongkongan sehingga menghambat impuls saraf lainnya, sehingga cegukan
pun reda.

Kaki kram
Apakah Anda sering mengalami kaki kram secara intens setiap malam? Kram
kaki merupakan sinyal tuTebalbuh yang mengisyaratkan bahwa tubuh Anda sedang
mengalami dehidrasi, kekurangan kalsium dan magnesium. Untuk mengatasinya
adalah minumlah air putih lebih banyak dari biasanya. Susu kalsium juga
sangat disarankan.

Disunting dari : http://slamet-budiarto.blogspot.com/

Asal Mula Nama 'Bluetooth' dan 'Lambangnya'

Nama "Bluetooth" berasal dari nama seorang raja di akhir abad 10.

"Harald Blatand" yang di Inggris juga dijulukì Harald Bluetooth, kemungkinan karena memang giginya berwarna gelap.

Ia adalah raja Denmark yang telah berhasil menyatukan suku-suku yang sebelumnya berperang, termasuk suku dari wilayah yang sekarang bernama Norwegia dan Swedia.

Bahkan wilayah Scania di Swedia, tempat teknologi bluetooth ini ditemukan juga termasuk daerah kekuasaannya.

Kemampuan raja itu sebagai pemersatu juga mirip dengan teknologi bluetooth sekarang yang bisa menghubungkan berbagai peralatan, seperti komputer personal dan ponsel.

Sedangkan logo bluetooth berasal dari penyatuan dua huruf Jerman yang analog dengan huruf 'H' dan 'B' (singkatan; Harald Bluetooth), yaitu (Hagall) dan (Berkanan) yang kemudian digabungkan.

Sejarah awal mula dari bluetooth adalah sebagai teknologi komunikasi wireless (tanpa kabel) yang beroprasi dalam pita frekuensi 2,4 GHz unlicensed ISM (Industrial, Scientific and Medical) dengan menggunakan sebuah frequency hopping tranceiver yang mampu menyediakan layanan komunikasi data dan suara secara real time antara host-host bluetooth dengan jarak jangkauan layanan yang terbatas (sekitar 10 meter).

Bluetooth berupa card yang menggunakan frekuensi radio standar IEEE 802.11 dengan jarak layanan yang terbatas dan kemampuan data transfer lebih rendah dari card untuk Wireless Local Area Network (WLAN).

Pembentukan bluetooth dipromotori oleh 5 perusahaan besar: Ericsson, IBM, Intel, Nokia dan Toshiba.
Membentuk sebuah Special Interest Group (SIG) yang meluncurkan proyek ini.

Pada bln Juli 1999 dokumen spesifikasi bluetooth versi 1.0 mulai diluncurkan.

Pada bln Desember 1999 dimulai lagi pembuatan dokumen spesifikasi bluetooth versi 2.0 dengan tambahan 4 promotor baru, yaitu; 3Com, Lucent Technologies, Microsoft, dan Motorola.

Saat ini, lebih dari 1.800 perusahaan di berbagai bidang bergabung dalam sebuah konsorsium sebagai adopter teknologi bluetooth.

Disunting dari : http://slamet-budiarto.blogspot.com/

Meraih Kebahagiaan Hidup


Dari Uang Sampai Tuhan
Kalau dipikir-pikir, kebahagian itu termasuk salah satu istilah yang sulit didefinisikan, lebih-lebih ditemukan padanan fisiknya. Apa yang dipahami seseorang mengenai kebahagian kerapkali berbeda terkait dengan perbedaan keadaan diri, kebutuhan, atau perkembangannya. Nasib kebahagian itu mirip seperti kebenaran, yang selalu nisbi dan relatif. Jika kita berpikir kebahagian itu adanya pada isi kantong, mungkin itu benar. Tapi, ketika kantong sudah terisi, akankah itu menjamin kebahagian? Banyak orang yang harus membeli kesenangan, termasuk yang sangat merusak, karena merasa tidak bahagia dengan dirinya atau keadaannya. Ini petunjuk bahwa uang tidak selamanya identik dengan kebahagian.

Jika kita berpikir kebahagian itu adanya pada menemukan pacar yang sesuai kriteria, lalu kita ajak dia membangun keluarga, ya pikiran semacam itu mengandung kebenaran. Tapi, ketika semua itu sudah terlaksana, akankah itu menjamin kebahagian? Jawabannya relatif. Sudah banyak orang berpacaran bertahun-tahun, tapi pernikahannya hanya sebentar karena (salah satunya) tidak bahagia.

Sama juga dengan pekerjaan atau profesi. Menjelang diwisuda, mungkin kita berpikir kebahagian itu adanya di pekerjaan atau profesi. Tapi, begitu pekerjaan atau profesi itu kita temukan dan kita jalani, jawabannya menjadi nisbi dan relatif. Menurut beberapa hasil studi, lebih banyak pegawai yang ingin pindah karena kurang bahagia dengan pekerjaan yang ada.

Meski kantong isinya penuh, punya teman hidup, atau pekerjaan bagus, ternyata itu saja tidak menjamin kebahagian, tetapi untuk bahagia, memang itu semua dibutuhkan. Kita sulit bahagia jika kebutuhan dasar sebagai manusia belum terpenuhi. Kita sulit bahagia apabila hidup kita hanya untuk diri kita, alias tidak ada orang yang kita ajak berbagi. Kita sulit bahagia ketika nganggur sebab kebahagian itu adanya pada dinamika.

Jika disederhanakan, untuk menjadi bahagia, kita membutuhkan faktor penentu dan faktor pendukung, yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Faktor penentunya adalah diri kita. Semudah kita memilih untuk bahagia, semudah itu juga kita bisa memilih untuk tidak bahagia. "Orang akan bahagia ketika dirinya memutuskan untuk menjadi bahagia", kata Abraham Lincoln. Cuma, karena kita ini bukan makhluk personal semata (tetapi juga sosial), maka kebahagian kita pun perlu dukungan dari lingkungan atau orang lain yang membahagiakan. Malah konon ada yang mengatakan bahwa selain penyakit dan bencana, yang paling mempengaruhi suasanan batin manusia adalah hubungannya dengan orang lain.

Oleh karena kita juga makhluk material, maka kebahagian pun butuh materi dan berbagai simbolnya, seperti sandang, pangan, dan papan. Bahkan, karena kita juga makhluk spiritual, maka kebahagian itu dibahasakan dengan kalimat yang bunyinya "diberi" atas dasar sebab, bukan dicapai. Tuhanlah yang memberi kebahagian atau ketenangan dalam jiwa manusia. Banyak doa-doa yang redaksinya seperti misalnya "Ya Tuhan, berilah kami kehidupan yang bagus, berilah kami kebahagian, ketenangan, kemakmuran" dan lain-lain. Memanjatkan doa seperti itu bukanlah kekonyolan, mengharapkan mukjizat dari langit, tetapi lebih karena sikap hidup yang spiritual, dimana Tuhan pun berperan 100%, sama seperti peranan kita yang 100% juga.

Sikap Menerima & Kebahagiaan
Kebahagian adalah state of mind (jiwa) yang menjadi sebab sekaligus menjadi akibatnya, meski dibutuhkan faktor eksternal yang mendukungnya. Untuk menjadi orang yang bahagia, kita pertama kali harus menciptakan pikiran yang membahagiakan (positive mind), menemukan alasan untuk bersyukur sebanyak mungkin atau menciptakan makna-makan positif sebanyak mungkin. Jika kita berhasil mendatangkan faktor eksternal yang mendukung untuk merealisasikan alasan dan makna itu, maka state of mind kita juga akan bahagia (lahir-batin). Pertanyaannya, apa hal yang paling mendasar untuk bisa menciptakan pikiran yang membahagiakan itu? Untuk menjawab ini, rasa-rasanya sulit kita berpaling dari sikap menerima.

Sikap menerima sangat punya hubungan dengan tingkat kebahagian, baik secara kausatif atau korelatif. Ajaran agama mengharuskan sikap menerima terhadap takdir. Menerima takdir bukan menerima kenyataan (membiarkan atau mengabaikan), tapi menerima ketentuan Tuhan (menerima, memperbaiki, menjalani, mengubah, dst).

Kearifan lokal kita mensyaratkan nrimo, rela, lan legowo (menerima, merelakan, dan menyikapi secara positif) sebagai modal hidup sejati (urip sejati). Seperti yang diajarkan melalui kisah Bima dalam pewayangan, kebahagian yang kita cari itu adanya bukan di seberang sana, di atas sana, tetapi di dasar samudera jiwa kita. Tanpa relo, nrimo, dan legowo, sulit kita temukan dasar samudera itu. Kata seorang penulis buku-buku pengembangan diri, Mandy Evans, sikap menerima itu memiliki rahasia. Katanya, "Ketika Anda mulai bisa menerima diri seperti apa adanya sekarang ini, maka Anda mulai bisa membangun kehidupan baru dengan kemungkinan baru yang belum pernah ada sebelumnya."

Ada yang menarik dari hasil kajian Pak Hanna Djumhana, seperti ditulis dalam bukunya Meraih Makna Hidup (Paramadina: 1996), terhadap orang-orang yang pernah mengalami tragedi hidup yang dahsyat, lalu berhasil menciptakan kehidupan baru yang lebih bermakna dan bahagia. Mereka yang dikaji ini kebetulan dari daerah yang berbeda dengan masalah yang berbeda. Meski proses mereka dalam meraih kehidupan yang bermakna itu berbeda-beda, tetapi ada yang bisa disebut sebagai variable yang konstan atau proses yang sama-sama dilalui mereka. Bisa disebut sebagai proses yang wajib dijalani. Proses itu adalah penerimaan-diri. Sama seperti Evans di atas, menerima menjadi awal untuk menemukan dan memenuhi makna lalu meraih makna.

Menerima juga kerap menjadi prosedur ilmiah dalam penanganan korban bencana agar kembali menemukan gairah hidup yang lebih baik. Kalau orang terus menolak apa yang sudah tidak bisa ditolak, seperti kegagalan yang sudah terjadi atau kehilangan yang sudah tidak bisa ditemukan, ini malah akan memburuk dirinya. Memang pasti tidak mudah.

Berbagai Keyakinan yang Kurang Membahagiakan
Masih terkait dengan sikap menerima itu, ada tulisan David Burns (1980), Professor Standford University, yang menyinggung hal-hal kecil yang mestinya harus kita terima, tetapi prakteknya tidak bisa kita terima. Dan itu sedikit-banyaknya akan mempengaruhi kualitas kebahagian hidup, jika itu sudah menjadi karakter atau kebiasaan.

David Burns mencatat ada 10 keyakinan umum, yang kalau dipedomani secara fanatik, dapat menggagalkan orang untuk menjadi bahagia (self-defeating core belief). Mari kita lihat satu persatu di bawah ini:
  1. Emotional perfectionism, misalnya kita berkeyakinan bahwa saya harus bahagia terus, harus sempurna terus, harus dalam keadaan emosi yang seimbang terus.
  2. Performance perfectionism, misalnya kita berkeyakinan saya harus tidak pernah gagal, harus tampil tanpa cacat sedikit pun, harus menghasilkan sesuatu yang sempurna
  3. Perceived perfectionism, misalnya kita berkeyakinan tidak akan ada orang yang akan menerima atau mencintai kita kalau kita tidak sempurna atau punya kekurangan
  4. Fear of disapproval or criticism, misalnya kita berkeyakinan bahwa yang kita butuhkan untuk bahagia adalah dukungan dan pujian orang lain, full.
  5. Fear of rejection, misalnya kita berkeyakinan hidup kita akan hancur jika si dia menolak cinta kita atau berpisah dengan si dia
  6. Fear of being alone, misalnya kita berkeyakinan bahwa tanpa kehadirannya, hidup kita tak punya arti apa-apa.
  7. Fear of failure, misalnya kita berkeyakinan bahwa hanya ketika kita tidak pernah gagal itulah yang membuat hidup kita akan bahagia dan sempurna
  8. Conflict phobia, misalnya kita berkeyakinan bahwa orang yang hidupnya baik dan sempurna itu adalah yang tidak pernah berkonflik
  9. Emotion phobia, misalnya kita berkeyakinan bahwa saya harus tidak boleh marah, cemburu, sedih, kecewa, dan seterusnya untuk bisa menjadi bahagia
  10. Entitlement, misalnya kita berkeyakinan bahwa orang lain haruslah menjadi seperti yang saya inginkan untuk bisa bahagia

Semua bentuk keharusan di atas, bisa berfungsi ganda, tergantung bagaimana akan digunakan. Jika itu kita gunakan untuk mendorong proses yang lebih sempurna (search for excellence), menerima secara antisipatif, tentu akan positif. Tapi, jika itu kita gunakan untuk menolak kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang kita yakini (denial), negatifnya akan lebih banyak. Itulah sebabnya, sikap menerima menjadi penting.

Disunting dari : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=618

Kapankah Kompetisi Berubah Menjadi Konflik?

Kompetisi & Konflik
Kalau melihat ke arti dasarnya, kompetisi itu tidak otomatis langsung mengandung konflik. Kamus bahasa Inggris, Merriam Webster’s, misalnya, menjelaskan kompetisi itu diambil dari bahasa Latin, competere, yang kemudian berubah menjadi to compete dalam bahasa Inggris. Competere sendiri mengandung banyak arti, antara lain: mencari bersama (to seek together), menyetujui (agree), pergi bersama (to go together) atau menyesuaikan (be suitable). Dari sekian arti itu hampir tidak kita temukan yang mengarah pada konflik.

Memang ada sedikit perubahan ketika competere menjadi to compete. To compete adalah berjuang untuk mencapai sasaran, baik ditempuh secara sadar atau tidak sadar. Atau juga berada di dalam situasi persaingan, seperti perusahaan yang sedang merebut hati pelanggan. Yang menarik di sini, ternyata ketika dalam bahasa Inggris pun, kata itu bentuknya intransitive, yang berarti tidak butuh objek (korban), seperti kata memukul, membenci, menghina, atau merendahkan.

Namun, rasa-rasanya sudah biasa kalau kita menjumpai perbedaan antara apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang terjadi di praktek hidup. Seperti kata orang, dalam teori, antara praktek dan teori itu sama. Tapi, dalam praktek, antara teori dan praktek adalah dua hal yang berbeda. Terbukti, menurut hasil survei, seperti yang dikutip Donelson R. Forsyth dalam bukunya Sosial Psychologi (1987), ternyata yang sering menjadi sumber konflik di kantor adalah kompetisi atau persaingan, entah untuk merebut jabatan, pendapatan, atau pengakuan. Kalau kita lihat, tidak menutup kemungkinan jika dari persaingan itu kemudian menimbulkan permusuhan, baik antar pribadi atau antar geng. Permusuhannya pun macam-macam; ada yang masih dalam bentuk permusuhan batin dan ada yang sudah berbentuk permusuhan lahir (kelihatan, fisik, dst).

Kapankah Kompetisi Menjadi Konflik?
Dari praktek yang umum terjadi, kompetisi akan segera berubah menjadi konflik ketika sasaran kita adalah to beat: mengalahkan orang lain, menghancurkan, atau menang dengan cara yang ngasorake (merendahkan). Karena tidak ada orang yang mau dikalahkan, maka konflik akan muncul. Dalam aturan kompetisi, memang harus ada orang yang bisa dibahasakan sebagai pihak yang kalah atau yang menang. Sejauh itu aturan main, yang letaknya di luar diri kita, itu tidak masalah; yang masalah adalah ketika kita sudah merendahkan atau mengalahkan orang lain untuk meraih kemenangan.

Supaya konflik tidak muncul, maka sasarannya perlu kita ganti, dari to beat ke to win atau meraih kemenangan yang pengertiannya adalah menjadi the best dari yang bisa kita lakukan terhadap diri kita (to achieve competitive advantages). Kompetisi juga sudah perlu dipahami sebagai benih-benih konflik ketika suasana, situasi, dan iklim interaksi yang muncul telah mengeluarkan aroma permusuhan, penjegalan, atau pembunuhan karakter.

Ada pelajaran yang cantik tentang kompetisi ini dari makna yang ada di balik abjad Jawa yang jumlahnya 20 itu. Rententan makna di baliknya mengajarkan kita bahwa kita ini adalah utusan atau makhluk Tuhan yang dibekali perbedaan, dari jenis kelamin, bakat, sampai profesi (Honocoroko). Dengan bekal perbedaan itu, hendaknya kita menggunakannya untuk melakukan berbagai peranan yang sesuai dengan perintah-Nya, seperti mengasah keunggulan atau bekerjasama untuk berprestasi atau berkontribusi (Dotosowolo). Jika perbedaan itu kita gunakan sesuai aturan / perintah-Nya, misalnya berkompetisi, maka masing-masing kita akan menjadi jaya dengan perbedaan itu, sesuai usaha, atau menjadi yang terbaik dari diri kita (Podojoyonyo). Sejauh kita ikhlas atau meniatkan semua proses itu atas kesadaran untuk menjalankan perintah Tuhan, maka tidak saja kejayaan di dunia ini yang kita peroleh, nanti di mata Tuhan pun akan dimuliakan (Mogobotongo).

Budaya Tenggang Rasa & Komunikasi
Apa yang membuat kompetisi itu bisa cepat berubah menjadi konflik dalam sebuah organisasi? Salah satu yang paling mendasar di sini adalah paradigma tenggang rasa yang telah menjadi budaya kerja atau yang sudah dipraktekkan secara umum.

Di setiap organisasi, pasti ada budaya kerja yang bersumber dari paradigma tenggang rasa. Yang membedakan di sini adalah level kualitasnya. Bila merujuk ke pendapatnya Stephen Covey (1993), level kualitas tenggang rasa yang tertinggi adalah adanya budaya kesediaan untuk mengalah (win/lose) atau saling memenangkan (win/win). Padahal, nilai-nilai kearifan tradisional kita mengajarkan bahwa orang hanya akan bisa bersedia mengalah (win / lose) atau legowo, bila:

1. Punya komitmen untuk menjaga sikap yang positif
2. Punya kepasrahan yang tinggi terhadap Tuhan
3. Punya dorongan yang kuat untuk menghindari prilaku buruk
4. Punya kesediaan membantu orang lain secara tulus
5. Tidak selalu mengkalkulasi untung-rugi kehidupan dari sisi materi (spiritual)


Artinya, legowo itu adalah perbuatan orang yang kuat: kuat prinsip hidupnya, kuat imannya, atau besar jiwanya sehingga bersedia mengalahkan self-interest-nya demi untuk kepentingan orang banyak atau kepentingan yang lebih besar. Legowo sangat sulit diharapkan dapat dilakukan oleh orang yang lemah, entah lemah imannya atau lemah prinsip hidupnya. Begitu kita lemah, perasaan merasa kalah / dikalahkan akan cepat muncul sehingga mendorong kita untuk mengalahkan atau tidak mau dikalahkan.

Sebab lainnya adalah kualitas komunikasi. Semakin rendah kualitas komunikasi dalam organisasi, sangat mungkin akan memudahkan munculnya konflik dari kompetisi. Beberapa tandanya antara lain: saling membela-diri, saling bermain politik, saling bermain trik yang tidak jujur atau tersembunyi, harus ada yang dikalahkan atau dikorbankan.

Sedangkan untuk kualitas menengahnya, antara lain ditandai dengan: budaya saling menghormati, saling menggunakan diplomasi, atau saling menjaga perasaan. Pada tingkat ini, kompetisi sangat mungkin menjadi penyebab konflik, tetapi mungkin tidak terlalu mencolok atau tidak terlalu kotor.

Adapun untuk kualitas yang tinggi, tandanya yang paling kuat adalah munculnya sinergi dalam proses komunikasi dan interaksi. Bersinergi di sini mencakup antara lain: memberdayakan perbedaan untuk kebaikan, saling tolong menolong, saling memberi informasi yang lebih terbuka untuk hal-hal yang dibutuhkan, dan seterusnya. Budaya tenggang rasa dan komunikasi itulah yang sering membuat orang-orang sekantor seperti saudara atau sudah mampu membangun hubungan yang tidak lagi hanya sebatas diikat oleh kesepatan profesi atau tugas. Tapi, bisa pula membuat orang seperti musuh bebuyutan.

Peranan Pemimpin & Kepemimpinan
Jika kompetisi sudah berubah menjadi konflik, lebih-lebih yang sudah sampai pada aksi saling merusak, salaing memusuhi, dan saling melakukan pembunuhan karakter, maka keterlibatan seorang pemimpin sangat dibutuhkan. Hampir sangat jarang ada contoh yang membuktikan keberhasilan penyelesaian konflik di organisasi tanpa keterlibatan pemimpin. Mungkin itulah kenapa sampai ada ungkapan yang mengatakan bahwa organisasi itu lebih bagus ada pemimpinnya, meskipun dia bukan orang yang segalanya bagus.

Kita tentu sudah tahu bahwa pemimpin di sini maksudnya bukan semata sosok, melainkan sosok yang menjalankan fungsi kepemimpinan. Kalaupun sosoknya ada,tetapi fungsi kepemimpinannya tidak jalan, seringkali ini kurang berguna. Bahkan bisa-bisa pemimpin itu sendiri yang menjadi sumber konflik. Fungsi kepemimpinan yang sangat dibutuhkan dalam memotong mata rantai konflik itu adalah mengendalikan perbedaan individu dengan mengacu pada nilai dan visi organisasi. Kata Horney (Our Inner Conflict: 1945), setiap orang itu memiliki kebutuhan untuk menyendiri dari orang, mendekati orang, dan melawan orang. Bisa dibayangkan, jika dorongan untuk berbeda dan melawan itu tidak dikendalikan dengan visi dan nilai organisasi, supaya tetap on the track, maka organisasi itu akan menjadi ajang konflik dari perbedaan orang-orangnya. Yang satu begini dan yang lainnya begitu.

Fungsi penting lainnya adalah merumuskan atau menyepakati aturan main dalam organisasi. Dalam konteks ini, aturan main yang perlu digariskan adalah yang menyeimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan. Tumbuh yang tidak merata dapat menimbulkan konflik, lebih-lebih ada pilih kasih, seperti juga merata yang tidak tumbuh: dapat menimbulkan conflict in harmony.

Fungsi lainnya adalah untuk memperkuat kultur yang bertenggang rasa tinggi atau yang kualitas komunikasinya tinggi. Seperti kita tahu, kultur dibentuk dari nilai, pengetahuan, tradisi, aturan, dan lain-lain. Jika merujuk ke sini, semua perusahaan / organisasi punya kultur. Bedanya adalah ada yang kuat, dalam arti yang mempraktekkan semua itu, dan ada yang lemah, atau hanya sekedar himbauan, mestinya, atau masih di tataran baru diidealisasikan, alias belum dipraktekkan. Siapa yang bisa menggerakkan ini kalau bukan pemimpin?

Intinya, fungsi kepemimpinan yang seringkali dapat menyelesaikan konflik adalah yang memutuskan untuk melakukan atau yang mengajak orang-orang menyepakati hal-hal yang akan dilakukan. Kalau hanya memainkan fungsi mengharapkan, menyalahkan konflik, atau menormatifkan, seringkali ini tak bisa mengubah apa-apa.

Bagaimana jika sosok pemimpin seperti itu tidak ada? Jalan lainnya adalah menunjuk satu atau dua orang yang berposisi sebagai penengah. Ini bisa sukses asalkan masing-masing pihak punya kecenderungan untuk berdamai. Tapi jika kecenderungan itu tidak ada, peran penengah sering gagal atau berjalan terseok-seok. Kecenderungan itu harus bisa dibuktikan adanya kesediaan untuk mengalah atau saling memenangkan. Jika kecenderungan itu hanya berupa ucapan, kerapkali ini masih belum cukup.

Apakah Semua Konflik Itu Selalu Jelek?

Kalau kita lihat lagi, konflik pun terkadang menghasilkan dinamika yang baik, meskipun konfliknya sendiri tetap jelek, tidak enak, atau sesuatu yang tidak kita inginkan. Beberapa ciri konflik yang menghasilkan dinamika positif itu antara lain:

* Jika mampu mengungkap borok atau persoalan yang selama ini tersembunyi
* Jika mampu menghasilkan evaluasi yang lebih baik
* Jika mampu membuat orang-orang memahami kenyataan yang sebenarnya
* Jika mampu mendorong orang-orang untuk lebih belajar lagi.


Tapi yang lebih sering terjadi, konflik juga menghasilkan dinamika yang buruk. Beberapa cirinya antara lain:

* Membuat produktivitas orang-orang menjadi anjlok,
* Moralnya menjadi rusak
* Api permusuhan berkobar dimana-mana
* Prilaku orang-orang makin ngawur
* Saling mendemontrasikan sikap konfrontasi.


Ketika sudah begini, kantor adalah satu-satunya tempat yang paling menjadi korban. Orang berangkat ke kantor bukan to work, tetapi to fight, kalah-menang sama-sama jadi abu. Kata orang, jika di sebuah kantor itu ada konflik yang merusak, maka nada dan cara orang mengangkat telepon atau menyambut tamu, sudah beda rasanya.

Disunting dari : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=619
Oleh : Ubaydillah, AN, Jakarta, 28 Desember 2009

Cemburu?

Cemburu, atau yang sering kita kenal dengan istilah jeles (jealous), adalah sikap emosi kita terhadap orang yang kita anggap sebagai rival atau ancaman. Cemburu juga merupakan keadaan takut atau was-was atas hilangnya seseorang yang kita anggap penting. Reaksinya bisa aversif (tak mau didekati) atau protektif (menjadi seperti polisi).

Cemburu bisa terjadi pada urusan cinta asmara remaja, hubungan suami-istri, atau keinginan yang memiliki nilai tertentu, seperti jabatan atau penghasilan. Ketika kita cemburu, luapan emosi yang muncul antara lain adalah:

§ Takut kehilangan
§ Was-was terhadap munculnya penghianatan
§ Merasa kurang berguna atau sedih
§ Hidup terasa seperti tidak jelas dan merasa sendiri
§ Tidak percaya
§ Jengkel, marah atau gregetan

Dalam prakteknya, kecemburuan itu sedikitnya bisa memainkan dua fungsi. Fungsi pertama bisa dibaca sebagai tanda adanya rasa cinta. Laki-laki atau perempuan yang malu mengatakan cintanya secara langsung, terkadang menggunakan sikap atau pernyataan cemburu sebagai utusan.

Sedangkan fungsi yang kedua, kecemburuan bisa dirasakan sebagai perusak cinta. Kecemburuan seperti inilah yang diebut cemburu buta atau cemburu yang oleh para ahli disebut pathological jealousy (cemburu tidak sehat). Orang yang menjadi sasaran cemburu seperti ini, biasanya malah ingin mengganggalkan harapan si pencemburu, misalnya malah ingin jauh, risih, atau jengkel.

Beberapa tanda yang bisa kita rasakan adanya kecemburuan yang tidak sehat itu antara lain adalah: ketika sebab-sebabnya tidak faktual atau tidak ada petunjuk untuk cemburu, dirundung ketakutan dan kegelisahan yang lama, intensitas kecermburuannya sudah menganggu aktivitas lain karena pikiran kita terancam oleh “jangan-jangan”, memunculkan perasaan putus asa atau minder.
Pada cemburu yang sehat, masalahnya secara umum bersumber dari orang lain yang kita anggap kurang menaati kode etik, kurang membaca rasa, atau kurang mengindahkan hubungan. Tetapi, pada cemburu yang sudah tidak sehat, kemungkinan besar masalahnya ada di dalam diri kita. “It’s not about what happen to you, but about what is happening in you”

Rasa Takut
Apa yang menyebabkan seseorang cemburu secara pathologis? Dilihat dari sumber motifnya, banyak kajian yang berhasil mengungkap bahwa sebab penentunya (determinant) adalah rasa takut dan resah (feeling of fear and feeling of inadequacy). Rasa takut yang sudah menjadi motif hidup berbeda dengan rasa takut yang tidak / belum menjadi motif.

Bila kita takut ke luar rumah karena petir dan angin sedang mengamuk, maka takut seperti ini tidak menjadi motif. Kita takut karena ada sesuatu yang pantas untuk ditakuti. Takut seperti ini sehat dan kita butukan supaya tidak terlalu nekat, konyol atau sembrono. Bayangkan jika kita tak takut bahaya atau kerugian, apa akibatnya?

Takut yang sudah menjadi motif hidup terkait dengan kecemasan, kecurigaan, dan rasa terancam oleh “jangan-jangan” yang tak terkendalikan oleh kita (obsesif-kompulsif) sehingga mengganggu “kenormalan” kita, termasuk yang terkait dengan hubungan kita dengan pasangan atau dengan yang lain.

Sumbernya yang paling fundamental adalah kita merasa tidak punya pegangan, baik itu nilai-nilai, pemikiran, keyakinan, penilaian atau skill tertentu yang membuat kita punya alasan kuat bahwa kita “pede” atau mampu menguasai keadaan, terutama keadaan internal di dalam diri kita.

Sebagai reaksi atas perasaan itu, kita memunculkan mekanisme untuk menciptakan rasa aman. Salah satu mekanisme yang kita pilih adalah cemburu secara tidak sehat atau menolak mengambil inisiatif yang sehat untuk menyelesaikan problem, misalnya mengajak diskusi atau sharing dengan pasangan atau calon. Kita uring-uringan sendiri, was-was sendiri, beku sendiri.

Jika sudah menjadi motif, sumber itu tidak muncul secara tiba-tiba. Secara umum, ada rentetan panjang yang menjadi latar belakangnya. Mungkin dari pola pengasuhan waktu kecil yang terlalu memberi batasan atau kekhawatiran (rigid parenting) sehingga kesempatan kita untuk menjajal berbagai pengalaman dan ketrampilan sangat minim (mental construction).

Atau bisa juga muncul dari interpretasi kita atas kejadian masa lalu yang traumatik, baik yang menimpa kita langsung atau tidak langsung, misalnya menimpa sang kakak, adik, orangtua atau keluarga. Trauma yang gagal kita netralisir, dapat membuat kita terkuasai sehingga obsesif-kompulsif, alias tersiksa oleh rasa dan terbelenggu oleh cemburu.

Keresahan
Resah pun demikian. Ada keresahan yang memang masih pantas untuk diresahkan atau yang biasa disebut duka, sedih atau kecewa. Misalnya kita kehilangan pekerjaan, kehilangan orang tercinta, kegagalan mengikuti tes PNS padahal sudah membayar sana-sini. Sebagai reaksi sesaat, kesedihan dan kedukaan itu normal, alias manusiawi.

Tapi, ada resah yang memang sudah menjadi motif atau sudah menjadi virus yang menyerang sistem di dalam jiwa kita. Resah seperti ini muncul dari kebingungan yang tak terselesaikan (depresi) sehingga memunculkan keputusasaan dan patah harapan yang merupakan konsekuensi logis dari melemahnya kreativitas dalam menghadapi masalah.

Seperti apa yang pernah ditulis Abraham Maslow, jika alat yang engkau miliki hanya palu, maka engkau akan menganggap semua benda bagai paku. Karena kita melihat persoalan hanya satu perspektif, maka cara yang akan kita tempuh untuk menghadapinya juga satu. Biasanya, jika kreativitas kita rendah atau dalam keadaan depresi, kita akan cenderung memilih cara yang tak perlu berpikir panjang, seperti cemburu secara tidak sehat.

Laporan hasil studi APA (American Psychological Association: 2010) mengungkap bahwa kerentanan seseorang terhadap kecemburuan itu terkait dengan self-worth (pede, bahagia, optimisme, dst). Artinya, semakin rendah sef-worth seseorang, akan semakin rentan dia untuk cemburu. Kecemburuan itu bisa agresif, seperti marah dengan penyerangan. Atau juga bisa pasif, seperti ngambek dan menarik diri di kamar.

Darimana Mulai Bekerja?
Semua orang berhak untuk cemburu karena memang ada porsi yang dibutuhkan untuk menandai hubungan kita dengan orang tertentu yang menurut kita penting, seperti pasangan atau pacar. Hal lain lagi yang perlu kita sadari juga bahwa semua orang pada dasarnya memiliki kerentanan untuk cemburu secara patologis, seperti juga kita rentan terhadap penyakit

Alasannya adalah, siapa yang tak punya potensi ketakutan dan keresahan? Hanya memang ketika porsinya sudah kebabalsan (akut) dan dampaknya sudah merugikan, maka tindakan kuratifnya (pengobatan) harus segera kita lakukan. Tindakan kuratif ini perlu ada yang didasarkan pada outcome (hasil) yang nyata di depan mata dan ada yang perlu didasarkan pada outcome yang tidak nyata.

Bentuk tindakan yang outcome-nya nyata itu antara lain misalnya saja:

§ Melakukan aktivitas yang hasilnya dapat membuat kita feeling good, seperti merapikan perabot rumah, persiapan kerja atau sekolah, care terhadap orang lain, dll
§ Menjalankan agenda pengembangan-diri sesuai keadaan dan kebutuhan, misalnya menambah skill, ketrampilan tertentu, atau kebisaan tertentu sampai membuat kita meyakini punya pegangan
§ Menempuh berbagai cara dengan motivasi yang tinggi untuk mewujudkan agenda pengembangan-diri itu.
§ Berdiskusi dengan pasangan mengenai hal-hal yang perlu kita capai agar pikiran tidak beku
§ Bergaul atau berkumpul dengan orang-orang yang membuat pikiran kita terus dinamis

Intinya, tindakan yang nyata itu adalah berbagai tindakan yang hasilnya nantii dapat mengurangi ketakutan yang ada di dalam diri kita karena merasa kurang (feeling of lack) atau merasa tidak punya pegangan (feeling of empty). Atau juga tindakan yang melatih pikiran kita untuk kreatif dalam menghadapi masalah supaya tidak gampang resah (feeling of contented).

Supaya tindakan itu memiliki pondasi yang kuat, maka perlu ada aksi-aksi batin (spiritualitas) untuk menggali vitalitas hidup. Banyak orang yang sudah tahu dan sangat ingin melakukan tindakan kuratif mengatasi masalahnya. Tetapi prakteknya, keinginan dan pengatahuan itu kurang berguna karena dikalahkan oleh kemalasan dan kesulitan.

Ini pun dapat terjadi pada kita jika pondasi spiritualnya (keimanan) tidak ada atau tidak kuat. Untuk membangun pondasi itu, hal-hal yang penting untuk kita lakukan antara lain:

§ Temukan pemikiran yang membuat Anda lebih “pede”, lebih kuat atau lebih bahagia dalam menghadapi hidup, dari bacaan, ajaran atau orang lain
§ Temukan keyakinan yang membuat Anda lebih tegar, dari orang lain, bacaan, atau ajaran
§ Hentikan atau alihkan semua pemikiran yang membuat Anda makin merasa tidak pede, merasa ringkih atau hancur
§ Bangun kedekatan dengan Tuhan melalui jalan keimanan

Iman adalah sebuah kesimpulan batin yang membimbing kita untuk meyakini (hati, lisan dan tindakan) adanya Tuhan atau kekuatan yang di luar lingkaran kita dan orang-orang yang kita cemburui itu. Kesimpulan itu idealnya dibangun dari pembelajaran, pengetahuan dan pengalaman, supaya dapat mengurangi rasa takut dan rasa gelisah (laa khoufun alaihim walaa hum yahzanuun).

Misalnya, kita tersiksa oleh kecemburuan terhadap seseorang yang keberadaannya di luar kontrol kita, katakanlah bekerja di luar negeri atau di luar kota. Apa yang akan kita jadikan pegangan? Akal? Tehnologi? Atau perasaan? Itu semua dibutuhkan, tetapi tak sanggup mengalahkan ketakutan dan kegelisahan sehingga perlu pegangan lain yang sifatnya spiritual.

Sama juga misalnya kita dikhianati orang secara nyata. Jika hanya berpedoman pada akal, mungkin kita akan terlibat dalam saling menuntut, saling membalas, saling menghukum. Terkadang ini diperlukan asalkan proporsional. Kalau kebablasan, ini akan merusak kita. Begitu juga dengan perasaan. Jika kita jadikan pedoman tunggal, maka akan melibatkan kita pada merasa hancur atau kecewa.

Supaya tidak sampai kebablasan, maka larinya harus ke pegangan hidup yang sifatnya spiritual atau nilai-nilai abstrak yang membuat hidup kita tetap punya ketahanan (keimanan). Oleh Napolen Hill, iman itu disebutnya dengan istilah The Infinitive Intelligence atau kecerdasan yang sanggup membuat kita melihat kenyataan di balik kenyataan.

Intinya, untuk mengatasi kecemburuan yang patologis itu perlu melibatkan empat kapasitas inti dalam diri, yaitu tindakan nyata (pengembangan-diri), nalar (kalkulasi), perasaan (membedakan sensitivitas), dan keimanan (keyakinan yang membebaskan kita dari rasa takut dan gelisah.

Disunting dari : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=625
Oleh : Ubaydillah, AN, Jakarta, 05 Maret 2010


Mengapa Anak Kian Agresif ?

Di ruang-ruang pembicaraan orangtua sering muncul keluhan kenapa ya anak saya menjadi agresif. Gaya omongannya menyerang, sikapnya tidak seperti pada zaman kita dulu terhadap orangtua yang cenderung takut. Jika kemauannya tidak dituruti, perilakunya langsung reaktif, seperti membanting pintu atau melawan. Pertanyaannya, apakah itu tren zaman atau memang watak anak-anak? Kalau ditinjau dari teorinya, memang dua-duanya berperan. Teori Tabularasa mengatakan anak-anak itu bagaikan lembaran putih. Lingkunganlah yang berperan mengisinya, dari mulai keluarga, sekolah, dan masyarakat, dengan segala isinya.


Tayangan televisi yang mengumbar perdebatan sengit, ungkapan yang agresif, sikap yang antisosial, dan lain-lain, bisa dimasukkan ke dalam faktor eksternal yang ikut membentuk keagresifan anak. Peradaban dalam keluarga yang dirasakan anak selama dalam berinterakasi juga ikut berperan. Dilihat dari sini, keagresifan anak adalah tren zaman atau pengaruh dari luar. Tapi, kalau menurut teori lain, faktor eksternal itu bukan satu-satunya. Teori perkembangan mengatakan agresifitas anak merupakan bagian dari problem perkembangan, proses alamiah karena mereka belum terlatih mengontrol diri atau karena faktor internal.

Sebagai orangtua, sikap kita yang terpenting bukan memperdebatkan mana teori yang benar, melainkan berusaha menangkap pesannya. Perkembangan anak itu ada yang dipengaruhi faktor eksternal dan faktor internal. Karena itu perlu ada usaha untuk menciptakan kondisi eksternal yang mendukung dan usaha untuk mengembangkan kapasitas internalnya.

Jika ditangkap pesan spiritualnya, kenyataan seperti ini mengisyaratkan bahwa kita ini tidak boleh sombong dengan meyakini anak kita pasti menjadi orang baik karena kita orang baik. Atau juga tidak perlu merasa minder duluan karena gen kita bukan orang hebat. Tuhan telah membuktikan ini melalui kisah tokoh-tokoh populer dan keluarganya di dunia ini dan di sekeliling kita.


Walaupun perilaku agresif anak itu terbilang manusiawi karena kapasitas kontrol-dirinya masih rendah, tapi tidak bisa ini selalu kita jadikan sebagai pembenar untuk tidak mengambil sikap dan tindakan apa-apa. Justru ini perlu kita lihat sebagai isyarat bahwa kita perlu bersikap dan bertindak, sesuai keadaan, kemampuan dan komitmen. Kenapa? Seagresif-agresifnya anak, orangtua masih punya ruang kontrol yang sangat-sangat besar terhadap mereka karena berbagai keterbatasannya.

Kalau dia tidak diberi uang saku, dia tidak bisa kemana-mana. Semarah-marahnya dia, kekuatan dan dampaknya masih bisa dikendalikan. Tapi coba bila ini berlanjut sampai usia remaja dan dewasa karena kita tidak bersikap dan bertindak semasa anak-anak? Besaran masalahnya dan dampaknya akan beda. Sudah sering kita lihat berita di televisi ada anak remaja awal yang melakukan pelanggaran yang tergolong besar, dari mulai tawuran dengan senjata tajam, lari dari rumah, masuk dalam jebakan agen narkoba, dan lain-lain. Kalau sudah begini, orangtua semakin kecil ruang kontrolnya.

Laporan studi internasional menunjukkan bahwa anak yang dari usia 3-10 tahun tidak tertangani dengan baik keagresifannya, akan sangat mudah diprediksi (good predictor) menjadi remaja yang agresif (International Longitudinal Study, by Cummings, et al:1989). Ini mungkin bisa menjadi penjelasan mengapa banyak anak SMP, SMA, atau mahasiswa yang sedikit-sedikit agresif.

Laporan studi lain, seperti dikutip Dr. Pelaez, dari Florida International University, mengungkap bahwa anak-anak yang mendapatkan warisan tradisi agresif dari orangtuanya atau keluarga besarnya, akan cenderung menjadi anak yang agresif. Beberapa anak juga sangat mungkin akan tumbuh menjadi agresif karena hidup di tengah lingkungan yang agresif.

Memang, logika hidup yang linier demikian tidak seratus persen merepresentasikan kenyataan. Ada beberapa anak yang punya kapasitas mengoreksi apa yang kurang baik dari orangtua atau lingkungan. Tetapi ini umumnya kembali ke faktor hidayah. Hidayah dalam arti ada pencerahan yang didapatkan dari Tuhan melalui renungan, eksplorasi, atau ajaran kebijaksanaan, misalnya Sidharta, Gandhi, Ibu Theresa, Tao, dan lain-lain.

Nah, dari banyak fakta yang bisa kita amati, perilaku agresif anak yang semula biasa tetapi kemudian berubah menjadi luar biasa itu memang sepertinya mendapatkan dukungan secara tidak langsung dari sikap kita sebagai orangtua. Dukungan yang kita berikan umumnya dalam bentuk:
1. Selalu menyalahkan televisi. Mungkin televisi itu salah dengan tayangannya, tetapi dia tidak bisa dituntut bertanggung jawab untuk melahirkan anak yang baik.
2. Hanya mengutuk zaman, kenapa ada facebook, internet, mall dan seterusnya. Zaman akan tetap berubah, terlepas kita kutuk atau tidak. Kitalah yang mestinya harus berubah juga
3. Memusuhi anak atau memarahinya. Tugas kita adalah mendidik atau mengasuhnya, bukan semata bereaksi secara reaktif terhadap keagresifannya.
Artinya, menuding ke luar, entah ke setan, lingkungan atau zaman, sejauh hanya kita niatkan untuk menuding, kurang bisa membuahkan kebaikan, walaupun mungkin benar. Selain menuding, perlu ada kesadaran untuk meningkatkan kapasitas anak dalam menundukkan insting agresifnya dari kecil.


Perilaku agresif anak secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu hostile agression, misalnya suka memancing permusuhan atau menyakiti temannya tanpa sebab yang kuat atau merampas alat tulis temannya. Yang satu lagi adalah instrumental agression, misalnya dia membanting pintu karena tidak dikabulkan permintaannya. Agresi dijadikan alat untuk mendapatkan keinginan. Menurut riset, anak laki-laki lebih besar kecenderungan untuk bertindak agresif.

Kalau dilihat dari levelnya, mungkin ada anak yang keagresifannya baru pada tingkat ucapan, misalnya sedikit-sedikit menjerit untuk melampiaskan protesnya, berkata dengan nada kasar, seperti dalam sinetron. Tapi ada juga yang sudah sampai pada level tindakan, entah itu yang bersifat hostile atau instrumental.

Terlepas apapun bentuk dan sifatnya, tapi ada yang secara pendidikan perlu kita bedakan antara pengaruh yang membentuk perilaku anak-anak dan orang dewasa. Untuk kepentingan pendidikan,dan perubahan, kita disarankan untuk meyakini bahwa pengaruh yang paling kuat membentuk perilaku anak adalah faktor eksternal.

Tujuannya adalah supaya muncul inisiatif perbaikan dari cara kita dalam mendidik dan tidak melulu menyalahkan anak. Faktor eksternal apa saja yang paling kuat mempengaruhi anak? Untuk anak yang berusia nol sampai belasan (sebelum remaja senior), pengaruh itu antara lain:
1. Suasana psikologis yang dialami anak selama berinteraksi dengan orang dewasa di sekitarnya
2. Kualitas kedekatan dengan orangtua, terutama sang ibu
3. Tingkat pengenalan terhadap makna hidup
4. Suasana rumah tangga
5. Pola pembiasaan perilaku dalam hidup
6. Lingkungan sosial
7. Tayangan yang dilihat anak

Sementara, untuk orang dewasa, secara pendidikannya kita disarankan untuk meyakini bahwa pengaruh yang paling kuat membentuk perilakunya adalah dirinya sendiri. Walaupun dalam prakteknya mungkin tidak begitu, namun dalam keyakinannya harus begitu. Alasannya adalah agar muncul inisitif untuk bertanggung jawab (internal locus of control). Dialah yang harus berubah. Bayangkan kalau sudah mahasiswa, sudah kerja atau sudah berumah tangga, tapi masih kita ajari untuk menyalahkan dosennya, atasannya, lingkungannya, sopirnya, mertuanya, dan seterusnya. Mungkin dia akan lamban cerdas untuk dirinya sendiri gara-gara kita.

Di tradisi para orangtua kita dulu, pengalihan tanggung jawab dari faktor eksternal ke internal itu ditandai dengan mengadakan Selamatan. Misalnya saja untuk anak perempuan yang sudah menstruasi atau anak laki-laki yang sudah masuk puber. Tujuannya adalah penegasan dan harapan.

Tahap-tahap untuk mengurangi keagresifan anak :

Melanjutkan apa yang sudah kita bahas di muka, bahwa faktor eksternallah yang paling berperan mempengaruhi anak-anak kita, maka yang mendesak untuk kita lakukan adalah berinisiatif menciptakan lingkungan yang non-agresif. Pasti ini tidak mudah. Hanya saja, persoalannya bukan mudah atau sulit. Persoalannya adalah apa yang perlu kita lakukan agar keagresifan anak-anak tidak berlanjut hingga usia remaja atau dewasa, yang saat itu sulit dikontrol. Dari beberapa poin yang kita singgung di muka, kira-kira yang perlu kita lakukan itu adalah:


Pertama, mengurangi seoptimal mungkin rewards yang sifatnya menciptakan ancaman psikologis pada anak. Sekali-kali mungkin kita perlu ketawa atau santai saja melihat anak bersuara keras atau membanting pintu. Jika kita mengalahkannya dengan keagresifan juga, dia akan belajar bahwa jurus yang top di dunia ini adalah agresif, seperti ayah-ibu melakukannya. Tapi tidak berarti marah harus dihilangkan. Selain sulit, anak pun perlu tahu sikap kita terhadap perilaku yang kurang beradab. Hanya, yang paling penting bukan marah atau ketawa, tetapi mengantarkan anak memahami perlunya mengurangi perilaku agresif dan pentingnya mengontrol emosi.

Kedua, menciptakan kualitas attachment (kelekatan) yang bagus. Namanya anak-anak pasti lengket sama orangtua atau orang dewasa. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan (comfort and secure). Tapi, dalam prakteknya tujuan itu bisa gagal karena keagresifan orang dewasa. Jika kebiasaan itu terjadi tanpa koreksi apa-apa, anak-anak akan mempunyai kesempatan untuk meng-copy atau menafsirkan perilaku kita. Mungkin tafsiran yang ia ciptakan adalah supaya hidup kita aman dan nyaman, kita harus agresif atau tafsiran lain yang mendukung.

Ketiga, suasana komunikasi yang lebih berkualitas. Walaupun setiap saat kita berkomunikasi dengan anak-anak di rumah, tetapi soal kualitasnya tidak bisa disamakan. Ada yang diwarnai aksi menyerang secara lisan dan ada yang diwarnai kasih sayang. Kulitas komunikasi yang diwarnai penyerangan dapat menyuburkan sifat-sifat agresif pada anak.

Keempat, disiplin tertentu untuk meningkatkan kontrol diri. Disiplin tidak hanya berefek pada peningkatan intelektual semata, misalnya mendapatkan nilai akademik yang tinggi. Tetapi juga dapat memperbaiki kualitas mental karena dia akan berlatih untuk mrnyuruh dan melarang dirinya. Mengenai cara-cara untuk menerapakan disiplin itu sudah sering kita bahas di sini.
Kelima, mendampingi anak atau mengajak dia berdialog mengenai tayangan televisi untuk melatih sikap dia terhadap kenyataan. Walaupun tidak rutin tapi kita perlu berusaha mengajak anak untuk mendialogkan perilaku dalam tayangan itu lalu menanyakan sikapnya dan logika yang ia jadikan pijakan dalam menentukan sikap. Semakin kuat konstruksi logikanya, akan semakin kuat juga sikap dia terhadap kehidupan.

Bagaimana dengan pengaruh sosial yang tentu saja di luar kontrol kita? Untuk masalah yang ini, selain memang perlu ada upaya-upaya preventif seperti di atas, kita juga perlu menciptakan upaya preventif lain yang basisnya spiritual. Mendoakan anak adalah salah satunya, seperti yang dilakukan dan disarankan nenek moyang dan leluhur kita.
Demikian juga dengan kekayaan. Walaupun secara logika-materialisnya tidak memiliki hubungan yang kausatif (sebab akibat) antara kekayaan dengan kualitas perilaku anak, tapi secara spiritualnya hubungan itu disarankan untuk diyakini ada.

Disunting dari : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=627

Oleh : Ubaydillah, AN, Jakarta, 15 Maret 2010

Cerita Motivasi (Harapan)

“Harapan adalah sarapan yang baik, Tetapi makan malam yang buruk.”
– Francis Bacon


Kita harus hidup dengan harapan, tetapi kita tidak bisa hidup menggantung semata pada harapan. Adalah baik untuk berharap yang terbaik. Tetapi hal itu tidak cukup. Kita tidak bisa hanya berharap, kita harus bertindak.


Sangat menyedihkan, bahwa banyak hal digantung berlebihan pada harapan demi perbaikan nasib. Berharap yang terbaik belum menghasilkan apa-apa. Bekerja dan bertindak disertai dengan harapan di dalam hati adalah hal yang membawa hasil. Kombinasi yang sempurna. Harapan tidak akan mengecewakan selama hal itu disertai dengan tindakan dan komitmen.


Harapan tidak bisa mengganti tindakan. Kerjakan apa yang harus dikerjakan , baik ada atau tidak adanya harapan. Harapkan yang terbaik dan kerjakan apa saja yang memungkinkan harapan itu terwujud.


Mulai hari baru anda dengan harapan, dan sambung dengan kerja dan karya. Biarkan harapan menginspirasikan anda, ketimbang membuai anda. Harapan bergantung pada anda.


Apa yang Memotivasi Para Bilyuner..?
Pernahkah terpikir oleh anda, apa yang memotivasi para bilyuner? Bahkan jauh hari sebelum menjadi bilyuner kekayaan yang mereka kumpulkan telah mencukupi untuk hidup mereka, anak mereka, cucu mereka, atau bahkan generasi selanjutnya.


Kebanyakan bilyuner adalah pekerja keras. Bangun pagi-pagi – lalu pergi bekerja hingga larut malam. Mereka melakukan itu tentu bukan lagi karena sekedar mengejar uang. Lalu apa yang mereka kejar? Apakah itu keserakahan? atau kekuasaan? Mungkin. Tetapi secara umum, orang-orang pelit / serakah jarang beroleh sukses karena mereka tidak memberi nilai lebih pada orang lain. Kebanyakan bilyuner modern masa kini, tidak menjadi bilyuner karena kikir.


Para bilyuner termotivasi oleh cita-cita mereka. Cita-cita untuk membuat perbedaan, sehingga dunia menjadi berbeda karena mereka ada. Motivasi ini yang memampukan mereka untuk menjadi bilyuner. Dan karena hal itu pula mereka tetap bisa bekerja keras sekalipun telah menjadi bilyuner.


Apakah anda ingin hidup seperti seorang bilyuner? Mudah sekali. Berhentilah bekerja hanya untuk sekedar hidup dan buat perbedaan. Sekalipun di hari terburuk.


Hidup adalah kemewahan, hidup adalah kegembiraan sekalipun di hari terburuk. Kenyataan bahwa anda saat ini hidup sehingga bisa membuat keputusan, bisa melaksanakannya, dan mampu membuat perbedaan jauh lebih berharga ketimbang segala kesulitan dan kekecewaan yang mungkin menghadang.


Saat dunia gelap hidup adalah alasan mengapa anda harus menjadi cahaya.


Kualitas hidup anda tidak tergantung pada apa yang anda temui, tetapi pada seperti apa anda setelah melewati segala tantangan. Hari ini adalah hari istimewa karena anda diperbolehkan masuk ke hari ini. Ada kesempatan untuk tumbuh dan mencapai cita-cita anda ke segala arah. Bila orang di sekitar anda pencemooh dan pendengki anda punya kesempatan untuk membuat bahwa karena anda lingkungan anda bisa berubah ke arah lebih baik. Tantangan kesulitan yang ada di depan anda menyembunyikan harta karun nyata yang menunggu untuk digali.


Hati kecil anda sudah mengerti hal ini. Hidup adalah indah bila anda menerima hidup sebagai kesempatan. Di mana pun anda, apapun yang anda hadapi, ambil keputusan untuk menikmati keindahan itu setiap hari. Dan saat anda mengambil pilihan ini dunia di sekeliling anda pun akan menjadi lebih baik.


Di sunting dari : http://www.resensi.net/harapan/2009/03/01/

Logika Fisika Tentang "Yaumil Akhir"

Percaya dan yakin tentang adanya hari terakhir atau yaumil akhir adalah salah satu rukun iman pada agama Islam.

Banyak umat sebelum periode kenabian Muhammad saw yang diazab, bahkan dimusnahkan karena mendustakan atau tidak peraya akan adanya Sang Pencipta dan hari kehancuran.


Banyak ayat yang menerangkan tentang hari kiamat, kita bisa mulai dari ayat: .."Seandainya bumi diguncangkan dengan sedasyat - dasyatnya"..
Peristiwa kehancuran bumi dapat dijelaskan dengan pengetahuan fisika dasar yang sederhana.


Hal ini bisa mengambil contoh permainan anak-anak yang bernama gasing. Ketika gasing berputar dengan kecepatan yang cukup, dia akan tetap tegak berdiri pada porosnya.
Akan tetapi, ketika kecepatan putarnya berkurang, gasing pun akan jadi oleng dan posisi porosnya berubah-ubah ke berbagai arah hingga akhirnya berhenti dan jatuh. Dengan kata lain gasing tersebut berguncang dengan kuat dan mati.. Dengan suatu sebab yang sama bisa saja terjadi pada bumi yang bergerak dan berputar pada porosnya.


Berdasarkan pemikiran diatas, kita dapat bertanya,. "Apa gerangan yang terjadi bila bumi yang berputar pada porosnya lalu mengalami guncangan seperti gasing yang akan berhenti berputar dan menyebabkan posisi poros bumi berubah-ubah..?" .
Jawabnya adalah ayat.. "Seandainya bumi dìguncangkan sedasyat-dasyatnya". dalam Alquran adalah suatu keniscayaan yang benar, logis, dan bisa terjadi kapan saja.


Apalagi bila mengingat bagian cerita dari peristiwa Isra Mi'raj Rasulullah Muhammad saw, yang mengindikasikan bahwa bumi ini sudah tua. Bahkan Allah SWT memberi sinyalemen dalam salah satu ayat Alquran bahwa, "Mungkin kiamat sudah dekat".


Ayat lain dalam Alquran sebagai al bayan menjelaskan yang bakal terjadi pada saat bumi berguncang dengan dasyat diantaranya ; "Dan ketika lautan dijadikan meluap (Al-infithar:3), dan bumi akan mengeluarkan beban - beban beratnya (Al-Zalzalah:2), dan memuntahkan apa yang ada didalamnya dan menjadi kosong (Al-insyiqaq:4) dan gunung-gunung berjalan dengan cepat." ayat-ayat ini agak sulit dimengerti bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi.


Akan tetapi andai saja kita mau sedikit mengingat pelajaran fisika yang kita peroleh di SD/SLTP tentang gaya tarik - menarik antarmatrial yang sama (kohesi), dan gaya tarik - menarik antarmatrial yang berbeda (adhesi), kita dapat memahami ayat diatas sebagai peristiwa yang terjadi akibat hilangnya gaya tarik - menarik antarmatrial yang berbeda.


Tanah misalnya tidak mau bergabung dengan batu, batu tidak mau diikat oleh lempung, pasir tidak mau memegang kapur (gamping), tanah tidak mau lagi mengikat akar-akar pohon, lumpur dan pasir tidak lagi menahan air, dst.


Akibatnya tidak satupun benda dimuka bumi ini yang dapat berdiri tegak diam ditempatnya.. Semua tercabut, bergoyang, dan bergerak tanpa arah. Semua terjadi karena tidak adanya gaya tarik - menarik antarmaterial yang berbeda dalam skala ukuran besar yakni hilangnya gaya gravitasi.


Dan ketika semua itu terjadi, setiap mahluk termasuk manusia akan menjadi sangat panik. Kepanikan ini di gambarkan dalam Alquran denga ayat,. "Pada hari kamu mengalami guncangan itu, lupalah semua wanita yang menyusui pada anaknya, dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk padahal sebenarnya mereka tidak sedang mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras (Al-hajj:2).


Yach,. itulah gambaran kepanikan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Setiap diri sibuk mengurusi dirinya sendiri. Suatu kepanìkan yang melebihi peristiwa gempa dan tsunami.


Kehancuran paling sempurna manakala terjadi gaya kohesi yakni gaya tarik - menarik antarmatrial yang sama hilang, yang dalam Alquran oleh Allah SWT dijelaskan dengan ayat-ayat seperti :
"Dan ketika gunung - gunung dihancurkan (At-takwir:3), dan ketika gunung - gunung telah dihancurkan menjadi debu (Al-mursalt:10). Maka sempurnalah kehancuran dan kemusnahan alam semesta serta bumi termasuk mahluk yang tinggal diatasnya.


Disunting dari : http://slamet-budiarto.blogspot.com/

Allah Selalu Tau Segala Yang Terbaik Bagi Hambanya


Aku meminta kepada Tuhan untuk menyingkirkan penderitaanku. Tuhan menjawab tidak. Itu bukan untuk Kusingkirkan, tetapi agar kau mengalahkannya.

Aku meminta kepada Tuhan untuk menyempurnakan kecacatanku.
Tuhan menjawab tidak. Jiwa adalah sempurna, badan sementara.


Aku meminta kepada Tuhan untuk menghadiahkan kesabaran.
Tuhan menjawab tidak. Kesabaran adalah hasil dari kesulitan; itu tidak dihadiahkan; itu dipelajari.


Aku meminta kepada Tuhan untuk memberiku kebahagiaan.
Tuhan menjawab tidak.
Aku memberimu berkah, kebahagiaan adalah tergantung padamu.


Aku meminta kepada Tuhan untuk menjauhkan penderitaan.
Tuhan menjawab tidak. Penderitaan menjauhkanmu dari perhatian dunia dan membawamu mendekat padaKu.


Aku meminta kepada Tuhan untuk menumbuhkan rohku. Tuhan menjawab tidak. Kau harus menumbuhkannya sendiri tetapi Aku akan memangkas untuk membuatmu berbuah.


Aku meminta kepada Tuhan segala hal sehingga aku dapat menikmati hidup.
Tuhan menjawab tidak. Aku akan memberimu hidup, sehingga kau dapat menikmati segala hal.


Aku meminta kepada Tuhan membantuku mengasihi orang lain, seperti Ia mengasiku. Tuhan menjawab Ahhh, akhirnya kau mengerti.


Disunting dari : http://slamet-budiarto.blogspot.com/

Anak Belajar Dari Kehidupannya
















Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki,

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi,


Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri,


Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar menyesali diri,


Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri,


Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri,


Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai,


Jika anak dibesarkan dengan sebaik- baik nya perlakuan, Ia belajar keadilan,


Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan,


Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya,


Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan!!! wallohualam..


Disunting dari : http://slamet-budiarto.blogspot.com/

Belajar Dari Seekor Keledai


Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh ke dalam
sumur. Hewan itu menangis dengan memilukan selama
berjam-jam sementara si petani memikirkan apa yang harus
dilakukannya.

Akhirnya, si petani memutuskan bahwa hewan itu sudah tua
dan sumur juga perlu ditimbun (ditutup – karena
berbahaya), jadi tidak berguna untuk menolong si
keledai. Dan ia mengajak tetangga-tetangganya untuk
datang membantunya. Mereka membawa sekop dan mulai
menyekop tanah ke dalam sumur.

Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang
sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian. Tetapi
kemudian, semua orang takjud, karena si keledai menjadi
diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan ke
dalam sumur. Si petani melihat ke dalam sumur dan
tercengang karena apa yang dilihatnya.

Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop
tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang
menakjubkan. Ia mengguncang- guncangkan badannya agar
tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu
menaiki tanah itu.

Sementara tetangga2 si petani terus menuangkan tanah
kotor ke atas punggung hewan itu, si keledai terus juga
menguncangkan badannya dan melangkah naik. Segera saja,
semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi
sumur dan melarikan diri!

Kehidupan terus saja menuangkan tanah dan kotoran
kepadamu, segala macam tanah dan kotoran. Cara untuk
keluar dari "sumur" (kesedihan, masalah, dsb) adalah
dengan menguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri
kita (pikiran dan hati kita) dan melangkah naik dari "
sumur" dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai
pijakan.

Setiap masalah-masalah kita merupakan satu batu pijakan
untuk melangkah. Kita dapat keluar dari "sumur" yang
terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah!

Ingatlah aturan sederhana tentang Kebahagiaan:

1.. Bebaskan dirimu dari kebencian
2.. Bebaskanlah pikiranmu dari kecemasan.
3.. Hiduplah sederhana.
4.. Berilah lebih banyak.
5.. Berharaplah lebih sedikit.
6.. Tersenyumlah.
7.. Miliki teman yang bisa membuat engkau tersenyum?
Seseorang telah mengirimkan hal ini untuk kupikirkan,
maka aku meneruskannya kepadamu dengan maksud yang sama.

"Entah ini adalah waktu kita yang terbaik atau waktu
kita yang terburuk, inilah satu-satunya waktu yang kita
miliki saat ini!"

Disunting dari : http://slamet-budiarto.blogspot.com/

Jangan samakan Autism dengan Sindrom Asperger

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:

Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.

Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:

  1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
  2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
  3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
  4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
  5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.

Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.

Sindrom Asperger (bahasa Inggris: Asperger syndrome, Asperger's syndrome, Asperger's disorder, Asperger's atau AS) adalah salah satu gejala autisme di mana para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga kurang begitu diterima. Sindrom ini ditemukan oleh Hans Asperger pada tahun 1944. Sindrom Asperger dibedakan dengan gejala autisme lainnya dilihat dari kemampuan linguistik dan kognitif para penderitanya yang relatif tidak mengalami penurunan, bahkan dengan IQ yang relatif tinggi atau rata-rata (ini berarti sebagian besar penderita sindrom Asperger bisa hidup secara mandiri, tidak seperti autisme lainnya). Sindrom Asperger juga bukanlah sebuah penyakit mental.

Ketika orang berbicara, umumnya mereka menggunakan bahasa tubuh seperti senyuman dan komunikasi nonverbal lainnya, dan juga kata-kata yang dikeluarkan oleh mereka cenderung memiliki lebih dari satu buah makna. Seorang penderita sindrom Asperger memiliki kesulitan untuk memahami bentuk-bentuk komunikasi non-verbal serta kata-kata yang memiliki banyak arti seperti itu, dan mereka hanya memahami apa arti kata tersebut, seperti yang ia pahami di dalam kamus. Para penderita sindrom Asperger tidak mengetahui bagaimana memahami ironi, sarkasme, dan penggunaan bahasa slang, apalagi memahami mimik muka/eskpersi orang lain. Mereka juga tidak tahu bagaimana caranya untuk bersosialisasi dengan orang lain dan cenderung menjadi pemalu.

Para dokter melihat sindrom Asperger sebagai sebuah bentuk autisme. Seringnya, disebut sebagai "autisme yang memiliki banyak fungsi/high-functioning autism". Hal ini berarti setiap penderita sindrom Asperger terlihat seperti halnya bukan seorang autis, tetapi ketika dilihat, otak mereka bekerja secara berbeda dari orang lain. Para dokter juga sering mengambil kesimpulan yang salah mengenai sindrom Asperger setelah mendiagnosis penderitanya, dan memvonisnya sebagai pengidap skizofrenia, ADHD, sindrom Tourette atau kelainan mental lainnya.

Bagian otak yang memiliki kaitan untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain juga sebenarnya mengontrol bagaimana tubuh bergerak dan juga keseimbangan tubuh. Karena itu, seorang penderita sindrom Asperger mungkin mengalami masalah yang melibatkan pergerakan tubuh, seperti halnya olah raga, atau bahkan jalan kaki, yang terkadang sering terpeleset. Mereka juga memiliki kebiasaan grogi/nervous.

Para penderita sindrom Asperger cenderung lebih baik dibandingkan orang-orang lain dalam beberapa hal seperti matematika dan hitung-hitungan, tulisan serta pemrograman komputer. Banyak Penderita sindrom Asperger memiliki cara penulisan yang lebih baik dibandingkan dengan cara mereka berbicara dengan orang lain. Mereka juga memiliki sebuah minat yang khusus yang mereka tekuni dan bahkan mereka menekuninya sangat detail, serta mereka justru menemukan hal-hal kecil yang orang lain sering melewatkannya.

Disunting dari : http://id.wikipedia.org/wiki/