Bbbbbbbbyyyyyyyyuuuuuuuuuuuuurrrrrrrrrrrrr...........
Hari ini hujan lagi, pertanda bahwa langit tak kuasa menahan limpahan air yang ada. Sekitar pukul 19.00 turun hujan deras didaerah rumahku. Bukan untuk pertama kalinya rumahku kebanjiran. Beberapa tahun terakhir rumahku menjadi langganan rumah yang terkena banjir, karena jika dibandingkan dengan tetangga yang lain letak rumahku terbilang pendek, sehingga saat hujan deras turun, limpahan air dari jalan raya tumpah membanjiri rumahku. Mungkin memang sudah saatnya kami membetulkan letak rumah agar lebih tinggi. Selain itu kesadaran akan hidup bersih nampaknya juga sudah harus dipaksakan. Berawal dari membuang sampah pada tempatnya dan terutama bekerja bakti untuk memperbaiki aliran air disaluran pembuangan didepan rumah.
Ehm, bukan hanya rumahku yang kebanjiran, beberapa tetanggaku juga mengalami hal yang sama. Tepat berada disebelah kanan rumahku, terdapat rumah bang Udin. Bang Udin berprofesi sebagai pedagang mainan. Akhir-akhir ini dagangannya mulai sepi, akhirnya ia berganti haluan untuk menjadi penjual makanan ringan di SD dekat rumah. Meski kehidupannya sederhana tapi aku tak pernah sekalipun melihat ia mengeluh. Mungkin dibelakang sana ia baru mengeluhkan nasibnya. Banyak hal yang aku pelajari darinya. Hidup sederhana dan apa adanya, tak pernah mengeluh meski ku tahu hidupnya jauh dari kata mewah. Ia juga dikenal sebagai orang yang ramah, senyumnya selalu mengembang walaupun beban hidupnya kurasa cukup berat.
Disamping rumah bang Udin terdapat rumah Pak Ayib dan Bu Ayib, kami biasa memanggil mereka dengan sebutan Papi, Mami. Rumah mami malam ini juga kebanjiran. Tapi tadi aku tak melihat sosoknya keluar dari rumah seperti biasanya. “Ah, mungkin banjir di rumahnya tak terlalu parah” gumamku dalam hati.
Satu lagi tetanggaku yang rumahnya juga terkena banjir. Tepat berada disamping rumah mami. Mama Lilis panggilan akrab untuknya. Rumah kami berempat ada di blok 3C, dan di blok ini hanya rumah kami yang menjadi langganan banjir setiap musim hujan mulai tiba.
Hari ini aku diajarkan bersyukur oleh Mama Lilis. Saat aku berkunjung kerumahnya untuk melihat seberapa parah banjir kali ini menggenangi rumahnya, aku mendengar celetukan dari Eka. Ia adalah anak pertama dari bang Udin. “Mama Lilis, ayamnya udah mau kerendem tuh, kasian nanti mati!!” serunya. Memang banjir paling parah terjadi di rumah Mama Lilis. Di teras depan airnya mencapai betis, dan dibelakang limpahan air jauh lebih banyak. Aliran air yang deras terus menggenangi rumahnya yang sederhana. Mama Lilis bekerja sebagai PRT dibeberapa rumah. Hal ini ia lakukan lantaran suaminya menggalami Pengurangan tenaga kerja di PT-nya. Untuk menyambung hidupnya Mama Lilis berjualan kentang goreng, yang harganya hanya Rp.500,- per porsi, sedangkan suaminya kini bekerja sebagai penjaga toko di pasar yang tak jauh dari rumah kami. Malam ini suaminya belum pulang kerja, karena pasar juga kebanjiran. Alhasil Mama Lilis seorang yang harus mengatasi kondisi rumahnya, meski dibantu olek kedua anaknya, namun nampaknya ia tetap kerepotan.
Mendengar celetukan dari Eka, Mama Lilis hanya menjawab “Biarin ajalah ka, biar ayamnya ikut berenang. Jadi kita semua berenang. Yuk, main berenang-berenangan aja... hehehe” ucapnya sambil tertawa dengan wajahnya yang polos. Aku termangu melihat tingkahnya. Tak sedikitpun ku lihat beban diwajahnya. Bahkan disaat rumahnya nampak tak karuan karena ada air dimana-mana dan ditengah kondisi ini ia tak didampingi oleh suaminya.
Malam ini Mama Lilis benar-benar membuatku berpikir, hingga akhirnya aku dapat bersyukur. Diantara kami mungkin keluargaku terbilang lebih baik. Walau tak berlebih, namun kami tak pernah benar-benar merasa kekurangan. Di rumahku ada 2 lantai. Jika lantai bawah kebanjiran kami masih dapat duduk nyaman di lantai 2. Walaupun ada sedikit rembesan air hujan, namun aku rasa itu bukan masalah besar. Saat banjir melanda keluarga kami, kami semua panik . Terutama ibuku. Suaranya menggelegar, teriak sana, teriak sini memberitahu bagian mana saja yang mulai digenangi air. Meski kami selalu kebanjiran, tapi Alhamdulilah air itu tak pernah melampaui betis kami. Kira-kira hanya sedikit diatas mata kaki kami.
Aku bersyukur karena memiliki keluarga yang secara ekonomi jauh lebih baik jika dibandingkan dengan bang Udin dan Mama Lilis. Meski begitu, sikap keluargaku mungkin tak lebih baik dari mereka. Kontrol emosi kedua keluarga ini jelas lebih baik dari keluargaku. Mereka dapat lebih santai, lebih tenang, lebih banyak bersyukur sekalipun mereka kekurangan, dan yang paling membedakan dengan keluargaku adalah sikap mereka yang lebih berlapang dada melihat musibah yang sedang dilandanya. Sungguh ikhlas mereka menerima takdir Tuhan. Mereka juga tak pernah memikirkan terlalu dalam akan masalah-masalah yang ada. Karena menurutnya hal itu hanya akan membuat mereka semakin merasa susah ditengah kesusahannya.
Bangganya aku memiliki tetangga seperti mereka. Meski ku yakin mereka tak pernah menyadari bahwa sebenarnya mereka membanggakan. Memang bukan besarnya pencapaian mereka atau kesuksesan mereka yang dapat dibanggakan, tapi sikap arif mereka jauh lebih membuatku bangga dari pada sekedar sebuah kesuksesan belaka. Mereka memang belum cukup sukses secara finansial, tapi mereka sukses mengatasi emosi mereka, kecerdasan emosi merupakan penentu yang jauh lebih penting dari kecerdasan kognitif. Orang yang cerdas secara kognitif belum tentu menjadi sukses, jika kecerdasan emosionalnya nol. Tapi orang yang cerdas secara emoisionallah yang lebih dapat survive menjalani kehidupan ini.
Banjir yang Allah berikan sebenarnya bukanlah sebuah musibah, namun anugerah. Setidaknya dengan adanya banjir ini aku dan tetanggaku dapat saling bertegur sapa menanyakan keadaan satu sama lain. Kondisi seperti ini memang sulit untuk dilakukan oleh kami. Karena kami begitu sibuk bekerja, sehingga untuk bertegur sapa saja terkadang agak sulit. Selain itu banjir membuat keluargaku labih harmonis. Kami dapat saling bercanda dan bekerja sama merapihkan rumah yang tak karuan, hal ini jelas membuat keluargaku jauh lebih hangat. Hal yang juga patut disyukuri adalah karena Allah masih berkenan mengingatkan kami untuk selalu menjaga lingkungan, agar kami siap jika seandainya suatu saat nanti ada banjir yang lebih besar, meski kami jelas tak mengharapkan demikian.
Allah memang lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-hambanya. Banjir kali ini begitu memberikan pelajaran untukku. Pelajaran kehidupan yang secara tak sengaja Mama Lilis dan bang Udin ajarkan untukku. Ditengah rasa kagumku, aku mendengar suara dari A’Endi, anak tukang cukur depan rumahku, “Untung ujannya jam segini, coba kalo tengah malem, wah bisa repot kita”. Tak seperti biasanya, kali ini rumah A’Endi juga terkena banjir karena ada bagian rumahnya yang sedang direnovasi dan belum selesai. Lagi-lagi aku dibuat belajar oleh celetukan-celetukan polos tetangga-tetanggaku. Ditengah musibah ini, masih ada rasa syukur yang mereka rasakan. Sungguh luar biasa untukku. Semoga keluargaku kelak dapat meniru sikap arif mereka. Amin. n_n
Hari ini hujan lagi, pertanda bahwa langit tak kuasa menahan limpahan air yang ada. Sekitar pukul 19.00 turun hujan deras didaerah rumahku. Bukan untuk pertama kalinya rumahku kebanjiran. Beberapa tahun terakhir rumahku menjadi langganan rumah yang terkena banjir, karena jika dibandingkan dengan tetangga yang lain letak rumahku terbilang pendek, sehingga saat hujan deras turun, limpahan air dari jalan raya tumpah membanjiri rumahku. Mungkin memang sudah saatnya kami membetulkan letak rumah agar lebih tinggi. Selain itu kesadaran akan hidup bersih nampaknya juga sudah harus dipaksakan. Berawal dari membuang sampah pada tempatnya dan terutama bekerja bakti untuk memperbaiki aliran air disaluran pembuangan didepan rumah.
Ehm, bukan hanya rumahku yang kebanjiran, beberapa tetanggaku juga mengalami hal yang sama. Tepat berada disebelah kanan rumahku, terdapat rumah bang Udin. Bang Udin berprofesi sebagai pedagang mainan. Akhir-akhir ini dagangannya mulai sepi, akhirnya ia berganti haluan untuk menjadi penjual makanan ringan di SD dekat rumah. Meski kehidupannya sederhana tapi aku tak pernah sekalipun melihat ia mengeluh. Mungkin dibelakang sana ia baru mengeluhkan nasibnya. Banyak hal yang aku pelajari darinya. Hidup sederhana dan apa adanya, tak pernah mengeluh meski ku tahu hidupnya jauh dari kata mewah. Ia juga dikenal sebagai orang yang ramah, senyumnya selalu mengembang walaupun beban hidupnya kurasa cukup berat.
Disamping rumah bang Udin terdapat rumah Pak Ayib dan Bu Ayib, kami biasa memanggil mereka dengan sebutan Papi, Mami. Rumah mami malam ini juga kebanjiran. Tapi tadi aku tak melihat sosoknya keluar dari rumah seperti biasanya. “Ah, mungkin banjir di rumahnya tak terlalu parah” gumamku dalam hati.
Satu lagi tetanggaku yang rumahnya juga terkena banjir. Tepat berada disamping rumah mami. Mama Lilis panggilan akrab untuknya. Rumah kami berempat ada di blok 3C, dan di blok ini hanya rumah kami yang menjadi langganan banjir setiap musim hujan mulai tiba.
Hari ini aku diajarkan bersyukur oleh Mama Lilis. Saat aku berkunjung kerumahnya untuk melihat seberapa parah banjir kali ini menggenangi rumahnya, aku mendengar celetukan dari Eka. Ia adalah anak pertama dari bang Udin. “Mama Lilis, ayamnya udah mau kerendem tuh, kasian nanti mati!!” serunya. Memang banjir paling parah terjadi di rumah Mama Lilis. Di teras depan airnya mencapai betis, dan dibelakang limpahan air jauh lebih banyak. Aliran air yang deras terus menggenangi rumahnya yang sederhana. Mama Lilis bekerja sebagai PRT dibeberapa rumah. Hal ini ia lakukan lantaran suaminya menggalami Pengurangan tenaga kerja di PT-nya. Untuk menyambung hidupnya Mama Lilis berjualan kentang goreng, yang harganya hanya Rp.500,- per porsi, sedangkan suaminya kini bekerja sebagai penjaga toko di pasar yang tak jauh dari rumah kami. Malam ini suaminya belum pulang kerja, karena pasar juga kebanjiran. Alhasil Mama Lilis seorang yang harus mengatasi kondisi rumahnya, meski dibantu olek kedua anaknya, namun nampaknya ia tetap kerepotan.
Mendengar celetukan dari Eka, Mama Lilis hanya menjawab “Biarin ajalah ka, biar ayamnya ikut berenang. Jadi kita semua berenang. Yuk, main berenang-berenangan aja... hehehe” ucapnya sambil tertawa dengan wajahnya yang polos. Aku termangu melihat tingkahnya. Tak sedikitpun ku lihat beban diwajahnya. Bahkan disaat rumahnya nampak tak karuan karena ada air dimana-mana dan ditengah kondisi ini ia tak didampingi oleh suaminya.
Malam ini Mama Lilis benar-benar membuatku berpikir, hingga akhirnya aku dapat bersyukur. Diantara kami mungkin keluargaku terbilang lebih baik. Walau tak berlebih, namun kami tak pernah benar-benar merasa kekurangan. Di rumahku ada 2 lantai. Jika lantai bawah kebanjiran kami masih dapat duduk nyaman di lantai 2. Walaupun ada sedikit rembesan air hujan, namun aku rasa itu bukan masalah besar. Saat banjir melanda keluarga kami, kami semua panik . Terutama ibuku. Suaranya menggelegar, teriak sana, teriak sini memberitahu bagian mana saja yang mulai digenangi air. Meski kami selalu kebanjiran, tapi Alhamdulilah air itu tak pernah melampaui betis kami. Kira-kira hanya sedikit diatas mata kaki kami.
Aku bersyukur karena memiliki keluarga yang secara ekonomi jauh lebih baik jika dibandingkan dengan bang Udin dan Mama Lilis. Meski begitu, sikap keluargaku mungkin tak lebih baik dari mereka. Kontrol emosi kedua keluarga ini jelas lebih baik dari keluargaku. Mereka dapat lebih santai, lebih tenang, lebih banyak bersyukur sekalipun mereka kekurangan, dan yang paling membedakan dengan keluargaku adalah sikap mereka yang lebih berlapang dada melihat musibah yang sedang dilandanya. Sungguh ikhlas mereka menerima takdir Tuhan. Mereka juga tak pernah memikirkan terlalu dalam akan masalah-masalah yang ada. Karena menurutnya hal itu hanya akan membuat mereka semakin merasa susah ditengah kesusahannya.
Bangganya aku memiliki tetangga seperti mereka. Meski ku yakin mereka tak pernah menyadari bahwa sebenarnya mereka membanggakan. Memang bukan besarnya pencapaian mereka atau kesuksesan mereka yang dapat dibanggakan, tapi sikap arif mereka jauh lebih membuatku bangga dari pada sekedar sebuah kesuksesan belaka. Mereka memang belum cukup sukses secara finansial, tapi mereka sukses mengatasi emosi mereka, kecerdasan emosi merupakan penentu yang jauh lebih penting dari kecerdasan kognitif. Orang yang cerdas secara kognitif belum tentu menjadi sukses, jika kecerdasan emosionalnya nol. Tapi orang yang cerdas secara emoisionallah yang lebih dapat survive menjalani kehidupan ini.
Banjir yang Allah berikan sebenarnya bukanlah sebuah musibah, namun anugerah. Setidaknya dengan adanya banjir ini aku dan tetanggaku dapat saling bertegur sapa menanyakan keadaan satu sama lain. Kondisi seperti ini memang sulit untuk dilakukan oleh kami. Karena kami begitu sibuk bekerja, sehingga untuk bertegur sapa saja terkadang agak sulit. Selain itu banjir membuat keluargaku labih harmonis. Kami dapat saling bercanda dan bekerja sama merapihkan rumah yang tak karuan, hal ini jelas membuat keluargaku jauh lebih hangat. Hal yang juga patut disyukuri adalah karena Allah masih berkenan mengingatkan kami untuk selalu menjaga lingkungan, agar kami siap jika seandainya suatu saat nanti ada banjir yang lebih besar, meski kami jelas tak mengharapkan demikian.
Allah memang lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-hambanya. Banjir kali ini begitu memberikan pelajaran untukku. Pelajaran kehidupan yang secara tak sengaja Mama Lilis dan bang Udin ajarkan untukku. Ditengah rasa kagumku, aku mendengar suara dari A’Endi, anak tukang cukur depan rumahku, “Untung ujannya jam segini, coba kalo tengah malem, wah bisa repot kita”. Tak seperti biasanya, kali ini rumah A’Endi juga terkena banjir karena ada bagian rumahnya yang sedang direnovasi dan belum selesai. Lagi-lagi aku dibuat belajar oleh celetukan-celetukan polos tetangga-tetanggaku. Ditengah musibah ini, masih ada rasa syukur yang mereka rasakan. Sungguh luar biasa untukku. Semoga keluargaku kelak dapat meniru sikap arif mereka. Amin. n_n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar