Kompetisi & Konflik
Kalau melihat ke arti dasarnya, kompetisi itu tidak otomatis langsung mengandung konflik. Kamus bahasa Inggris, Merriam Webster’s, misalnya, menjelaskan kompetisi itu diambil dari bahasa Latin, competere, yang kemudian berubah menjadi to compete dalam bahasa Inggris. Competere sendiri mengandung banyak arti, antara lain: mencari bersama (to seek together), menyetujui (agree), pergi bersama (to go together) atau menyesuaikan (be suitable). Dari sekian arti itu hampir tidak kita temukan yang mengarah pada konflik.
Memang ada sedikit perubahan ketika competere menjadi to compete. To compete adalah berjuang untuk mencapai sasaran, baik ditempuh secara sadar atau tidak sadar. Atau juga berada di dalam situasi persaingan, seperti perusahaan yang sedang merebut hati pelanggan. Yang menarik di sini, ternyata ketika dalam bahasa Inggris pun, kata itu bentuknya intransitive, yang berarti tidak butuh objek (korban), seperti kata memukul, membenci, menghina, atau merendahkan.
Namun, rasa-rasanya sudah biasa kalau kita menjumpai perbedaan antara apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang terjadi di praktek hidup. Seperti kata orang, dalam teori, antara praktek dan teori itu sama. Tapi, dalam praktek, antara teori dan praktek adalah dua hal yang berbeda. Terbukti, menurut hasil survei, seperti yang dikutip Donelson R. Forsyth dalam bukunya Sosial Psychologi (1987), ternyata yang sering menjadi sumber konflik di kantor adalah kompetisi atau persaingan, entah untuk merebut jabatan, pendapatan, atau pengakuan. Kalau kita lihat, tidak menutup kemungkinan jika dari persaingan itu kemudian menimbulkan permusuhan, baik antar pribadi atau antar geng. Permusuhannya pun macam-macam; ada yang masih dalam bentuk permusuhan batin dan ada yang sudah berbentuk permusuhan lahir (kelihatan, fisik, dst).
Kapankah Kompetisi Menjadi Konflik?
Dari praktek yang umum terjadi, kompetisi akan segera berubah menjadi konflik ketika sasaran kita adalah to beat: mengalahkan orang lain, menghancurkan, atau menang dengan cara yang ngasorake (merendahkan). Karena tidak ada orang yang mau dikalahkan, maka konflik akan muncul. Dalam aturan kompetisi, memang harus ada orang yang bisa dibahasakan sebagai pihak yang kalah atau yang menang. Sejauh itu aturan main, yang letaknya di luar diri kita, itu tidak masalah; yang masalah adalah ketika kita sudah merendahkan atau mengalahkan orang lain untuk meraih kemenangan.
Supaya konflik tidak muncul, maka sasarannya perlu kita ganti, dari to beat ke to win atau meraih kemenangan yang pengertiannya adalah menjadi the best dari yang bisa kita lakukan terhadap diri kita (to achieve competitive advantages). Kompetisi juga sudah perlu dipahami sebagai benih-benih konflik ketika suasana, situasi, dan iklim interaksi yang muncul telah mengeluarkan aroma permusuhan, penjegalan, atau pembunuhan karakter.
Ada pelajaran yang cantik tentang kompetisi ini dari makna yang ada di balik abjad Jawa yang jumlahnya 20 itu. Rententan makna di baliknya mengajarkan kita bahwa kita ini adalah utusan atau makhluk Tuhan yang dibekali perbedaan, dari jenis kelamin, bakat, sampai profesi (Honocoroko). Dengan bekal perbedaan itu, hendaknya kita menggunakannya untuk melakukan berbagai peranan yang sesuai dengan perintah-Nya, seperti mengasah keunggulan atau bekerjasama untuk berprestasi atau berkontribusi (Dotosowolo). Jika perbedaan itu kita gunakan sesuai aturan / perintah-Nya, misalnya berkompetisi, maka masing-masing kita akan menjadi jaya dengan perbedaan itu, sesuai usaha, atau menjadi yang terbaik dari diri kita (Podojoyonyo). Sejauh kita ikhlas atau meniatkan semua proses itu atas kesadaran untuk menjalankan perintah Tuhan, maka tidak saja kejayaan di dunia ini yang kita peroleh, nanti di mata Tuhan pun akan dimuliakan (Mogobotongo).
Budaya Tenggang Rasa & Komunikasi
Apa yang membuat kompetisi itu bisa cepat berubah menjadi konflik dalam sebuah organisasi? Salah satu yang paling mendasar di sini adalah paradigma tenggang rasa yang telah menjadi budaya kerja atau yang sudah dipraktekkan secara umum.
Di setiap organisasi, pasti ada budaya kerja yang bersumber dari paradigma tenggang rasa. Yang membedakan di sini adalah level kualitasnya. Bila merujuk ke pendapatnya Stephen Covey (1993), level kualitas tenggang rasa yang tertinggi adalah adanya budaya kesediaan untuk mengalah (win/lose) atau saling memenangkan (win/win). Padahal, nilai-nilai kearifan tradisional kita mengajarkan bahwa orang hanya akan bisa bersedia mengalah (win / lose) atau legowo, bila:
1. Punya komitmen untuk menjaga sikap yang positif
2. Punya kepasrahan yang tinggi terhadap Tuhan
3. Punya dorongan yang kuat untuk menghindari prilaku buruk
4. Punya kesediaan membantu orang lain secara tulus
5. Tidak selalu mengkalkulasi untung-rugi kehidupan dari sisi materi (spiritual)
Artinya, legowo itu adalah perbuatan orang yang kuat: kuat prinsip hidupnya, kuat imannya, atau besar jiwanya sehingga bersedia mengalahkan self-interest-nya demi untuk kepentingan orang banyak atau kepentingan yang lebih besar. Legowo sangat sulit diharapkan dapat dilakukan oleh orang yang lemah, entah lemah imannya atau lemah prinsip hidupnya. Begitu kita lemah, perasaan merasa kalah / dikalahkan akan cepat muncul sehingga mendorong kita untuk mengalahkan atau tidak mau dikalahkan.
Sebab lainnya adalah kualitas komunikasi. Semakin rendah kualitas komunikasi dalam organisasi, sangat mungkin akan memudahkan munculnya konflik dari kompetisi. Beberapa tandanya antara lain: saling membela-diri, saling bermain politik, saling bermain trik yang tidak jujur atau tersembunyi, harus ada yang dikalahkan atau dikorbankan.
Sedangkan untuk kualitas menengahnya, antara lain ditandai dengan: budaya saling menghormati, saling menggunakan diplomasi, atau saling menjaga perasaan. Pada tingkat ini, kompetisi sangat mungkin menjadi penyebab konflik, tetapi mungkin tidak terlalu mencolok atau tidak terlalu kotor.
Adapun untuk kualitas yang tinggi, tandanya yang paling kuat adalah munculnya sinergi dalam proses komunikasi dan interaksi. Bersinergi di sini mencakup antara lain: memberdayakan perbedaan untuk kebaikan, saling tolong menolong, saling memberi informasi yang lebih terbuka untuk hal-hal yang dibutuhkan, dan seterusnya. Budaya tenggang rasa dan komunikasi itulah yang sering membuat orang-orang sekantor seperti saudara atau sudah mampu membangun hubungan yang tidak lagi hanya sebatas diikat oleh kesepatan profesi atau tugas. Tapi, bisa pula membuat orang seperti musuh bebuyutan.
Peranan Pemimpin & Kepemimpinan
Jika kompetisi sudah berubah menjadi konflik, lebih-lebih yang sudah sampai pada aksi saling merusak, salaing memusuhi, dan saling melakukan pembunuhan karakter, maka keterlibatan seorang pemimpin sangat dibutuhkan. Hampir sangat jarang ada contoh yang membuktikan keberhasilan penyelesaian konflik di organisasi tanpa keterlibatan pemimpin. Mungkin itulah kenapa sampai ada ungkapan yang mengatakan bahwa organisasi itu lebih bagus ada pemimpinnya, meskipun dia bukan orang yang segalanya bagus.
Kita tentu sudah tahu bahwa pemimpin di sini maksudnya bukan semata sosok, melainkan sosok yang menjalankan fungsi kepemimpinan. Kalaupun sosoknya ada,tetapi fungsi kepemimpinannya tidak jalan, seringkali ini kurang berguna. Bahkan bisa-bisa pemimpin itu sendiri yang menjadi sumber konflik. Fungsi kepemimpinan yang sangat dibutuhkan dalam memotong mata rantai konflik itu adalah mengendalikan perbedaan individu dengan mengacu pada nilai dan visi organisasi. Kata Horney (Our Inner Conflict: 1945), setiap orang itu memiliki kebutuhan untuk menyendiri dari orang, mendekati orang, dan melawan orang. Bisa dibayangkan, jika dorongan untuk berbeda dan melawan itu tidak dikendalikan dengan visi dan nilai organisasi, supaya tetap on the track, maka organisasi itu akan menjadi ajang konflik dari perbedaan orang-orangnya. Yang satu begini dan yang lainnya begitu.
Fungsi penting lainnya adalah merumuskan atau menyepakati aturan main dalam organisasi. Dalam konteks ini, aturan main yang perlu digariskan adalah yang menyeimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan. Tumbuh yang tidak merata dapat menimbulkan konflik, lebih-lebih ada pilih kasih, seperti juga merata yang tidak tumbuh: dapat menimbulkan conflict in harmony.
Fungsi lainnya adalah untuk memperkuat kultur yang bertenggang rasa tinggi atau yang kualitas komunikasinya tinggi. Seperti kita tahu, kultur dibentuk dari nilai, pengetahuan, tradisi, aturan, dan lain-lain. Jika merujuk ke sini, semua perusahaan / organisasi punya kultur. Bedanya adalah ada yang kuat, dalam arti yang mempraktekkan semua itu, dan ada yang lemah, atau hanya sekedar himbauan, mestinya, atau masih di tataran baru diidealisasikan, alias belum dipraktekkan. Siapa yang bisa menggerakkan ini kalau bukan pemimpin?
Intinya, fungsi kepemimpinan yang seringkali dapat menyelesaikan konflik adalah yang memutuskan untuk melakukan atau yang mengajak orang-orang menyepakati hal-hal yang akan dilakukan. Kalau hanya memainkan fungsi mengharapkan, menyalahkan konflik, atau menormatifkan, seringkali ini tak bisa mengubah apa-apa.
Bagaimana jika sosok pemimpin seperti itu tidak ada? Jalan lainnya adalah menunjuk satu atau dua orang yang berposisi sebagai penengah. Ini bisa sukses asalkan masing-masing pihak punya kecenderungan untuk berdamai. Tapi jika kecenderungan itu tidak ada, peran penengah sering gagal atau berjalan terseok-seok. Kecenderungan itu harus bisa dibuktikan adanya kesediaan untuk mengalah atau saling memenangkan. Jika kecenderungan itu hanya berupa ucapan, kerapkali ini masih belum cukup.
Apakah Semua Konflik Itu Selalu Jelek?
Kalau kita lihat lagi, konflik pun terkadang menghasilkan dinamika yang baik, meskipun konfliknya sendiri tetap jelek, tidak enak, atau sesuatu yang tidak kita inginkan. Beberapa ciri konflik yang menghasilkan dinamika positif itu antara lain:
* Jika mampu mengungkap borok atau persoalan yang selama ini tersembunyi
* Jika mampu menghasilkan evaluasi yang lebih baik
* Jika mampu membuat orang-orang memahami kenyataan yang sebenarnya
* Jika mampu mendorong orang-orang untuk lebih belajar lagi.
Tapi yang lebih sering terjadi, konflik juga menghasilkan dinamika yang buruk. Beberapa cirinya antara lain:
* Membuat produktivitas orang-orang menjadi anjlok,
* Moralnya menjadi rusak
* Api permusuhan berkobar dimana-mana
* Prilaku orang-orang makin ngawur
* Saling mendemontrasikan sikap konfrontasi.
Ketika sudah begini, kantor adalah satu-satunya tempat yang paling menjadi korban. Orang berangkat ke kantor bukan to work, tetapi to fight, kalah-menang sama-sama jadi abu. Kata orang, jika di sebuah kantor itu ada konflik yang merusak, maka nada dan cara orang mengangkat telepon atau menyambut tamu, sudah beda rasanya.
Disunting dari : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=619
Kalau melihat ke arti dasarnya, kompetisi itu tidak otomatis langsung mengandung konflik. Kamus bahasa Inggris, Merriam Webster’s, misalnya, menjelaskan kompetisi itu diambil dari bahasa Latin, competere, yang kemudian berubah menjadi to compete dalam bahasa Inggris. Competere sendiri mengandung banyak arti, antara lain: mencari bersama (to seek together), menyetujui (agree), pergi bersama (to go together) atau menyesuaikan (be suitable). Dari sekian arti itu hampir tidak kita temukan yang mengarah pada konflik.
Memang ada sedikit perubahan ketika competere menjadi to compete. To compete adalah berjuang untuk mencapai sasaran, baik ditempuh secara sadar atau tidak sadar. Atau juga berada di dalam situasi persaingan, seperti perusahaan yang sedang merebut hati pelanggan. Yang menarik di sini, ternyata ketika dalam bahasa Inggris pun, kata itu bentuknya intransitive, yang berarti tidak butuh objek (korban), seperti kata memukul, membenci, menghina, atau merendahkan.
Namun, rasa-rasanya sudah biasa kalau kita menjumpai perbedaan antara apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang terjadi di praktek hidup. Seperti kata orang, dalam teori, antara praktek dan teori itu sama. Tapi, dalam praktek, antara teori dan praktek adalah dua hal yang berbeda. Terbukti, menurut hasil survei, seperti yang dikutip Donelson R. Forsyth dalam bukunya Sosial Psychologi (1987), ternyata yang sering menjadi sumber konflik di kantor adalah kompetisi atau persaingan, entah untuk merebut jabatan, pendapatan, atau pengakuan. Kalau kita lihat, tidak menutup kemungkinan jika dari persaingan itu kemudian menimbulkan permusuhan, baik antar pribadi atau antar geng. Permusuhannya pun macam-macam; ada yang masih dalam bentuk permusuhan batin dan ada yang sudah berbentuk permusuhan lahir (kelihatan, fisik, dst).
Kapankah Kompetisi Menjadi Konflik?
Dari praktek yang umum terjadi, kompetisi akan segera berubah menjadi konflik ketika sasaran kita adalah to beat: mengalahkan orang lain, menghancurkan, atau menang dengan cara yang ngasorake (merendahkan). Karena tidak ada orang yang mau dikalahkan, maka konflik akan muncul. Dalam aturan kompetisi, memang harus ada orang yang bisa dibahasakan sebagai pihak yang kalah atau yang menang. Sejauh itu aturan main, yang letaknya di luar diri kita, itu tidak masalah; yang masalah adalah ketika kita sudah merendahkan atau mengalahkan orang lain untuk meraih kemenangan.
Supaya konflik tidak muncul, maka sasarannya perlu kita ganti, dari to beat ke to win atau meraih kemenangan yang pengertiannya adalah menjadi the best dari yang bisa kita lakukan terhadap diri kita (to achieve competitive advantages). Kompetisi juga sudah perlu dipahami sebagai benih-benih konflik ketika suasana, situasi, dan iklim interaksi yang muncul telah mengeluarkan aroma permusuhan, penjegalan, atau pembunuhan karakter.
Ada pelajaran yang cantik tentang kompetisi ini dari makna yang ada di balik abjad Jawa yang jumlahnya 20 itu. Rententan makna di baliknya mengajarkan kita bahwa kita ini adalah utusan atau makhluk Tuhan yang dibekali perbedaan, dari jenis kelamin, bakat, sampai profesi (Honocoroko). Dengan bekal perbedaan itu, hendaknya kita menggunakannya untuk melakukan berbagai peranan yang sesuai dengan perintah-Nya, seperti mengasah keunggulan atau bekerjasama untuk berprestasi atau berkontribusi (Dotosowolo). Jika perbedaan itu kita gunakan sesuai aturan / perintah-Nya, misalnya berkompetisi, maka masing-masing kita akan menjadi jaya dengan perbedaan itu, sesuai usaha, atau menjadi yang terbaik dari diri kita (Podojoyonyo). Sejauh kita ikhlas atau meniatkan semua proses itu atas kesadaran untuk menjalankan perintah Tuhan, maka tidak saja kejayaan di dunia ini yang kita peroleh, nanti di mata Tuhan pun akan dimuliakan (Mogobotongo).
Budaya Tenggang Rasa & Komunikasi
Apa yang membuat kompetisi itu bisa cepat berubah menjadi konflik dalam sebuah organisasi? Salah satu yang paling mendasar di sini adalah paradigma tenggang rasa yang telah menjadi budaya kerja atau yang sudah dipraktekkan secara umum.
Di setiap organisasi, pasti ada budaya kerja yang bersumber dari paradigma tenggang rasa. Yang membedakan di sini adalah level kualitasnya. Bila merujuk ke pendapatnya Stephen Covey (1993), level kualitas tenggang rasa yang tertinggi adalah adanya budaya kesediaan untuk mengalah (win/lose) atau saling memenangkan (win/win). Padahal, nilai-nilai kearifan tradisional kita mengajarkan bahwa orang hanya akan bisa bersedia mengalah (win / lose) atau legowo, bila:
1. Punya komitmen untuk menjaga sikap yang positif
2. Punya kepasrahan yang tinggi terhadap Tuhan
3. Punya dorongan yang kuat untuk menghindari prilaku buruk
4. Punya kesediaan membantu orang lain secara tulus
5. Tidak selalu mengkalkulasi untung-rugi kehidupan dari sisi materi (spiritual)
Artinya, legowo itu adalah perbuatan orang yang kuat: kuat prinsip hidupnya, kuat imannya, atau besar jiwanya sehingga bersedia mengalahkan self-interest-nya demi untuk kepentingan orang banyak atau kepentingan yang lebih besar. Legowo sangat sulit diharapkan dapat dilakukan oleh orang yang lemah, entah lemah imannya atau lemah prinsip hidupnya. Begitu kita lemah, perasaan merasa kalah / dikalahkan akan cepat muncul sehingga mendorong kita untuk mengalahkan atau tidak mau dikalahkan.
Sebab lainnya adalah kualitas komunikasi. Semakin rendah kualitas komunikasi dalam organisasi, sangat mungkin akan memudahkan munculnya konflik dari kompetisi. Beberapa tandanya antara lain: saling membela-diri, saling bermain politik, saling bermain trik yang tidak jujur atau tersembunyi, harus ada yang dikalahkan atau dikorbankan.
Sedangkan untuk kualitas menengahnya, antara lain ditandai dengan: budaya saling menghormati, saling menggunakan diplomasi, atau saling menjaga perasaan. Pada tingkat ini, kompetisi sangat mungkin menjadi penyebab konflik, tetapi mungkin tidak terlalu mencolok atau tidak terlalu kotor.
Adapun untuk kualitas yang tinggi, tandanya yang paling kuat adalah munculnya sinergi dalam proses komunikasi dan interaksi. Bersinergi di sini mencakup antara lain: memberdayakan perbedaan untuk kebaikan, saling tolong menolong, saling memberi informasi yang lebih terbuka untuk hal-hal yang dibutuhkan, dan seterusnya. Budaya tenggang rasa dan komunikasi itulah yang sering membuat orang-orang sekantor seperti saudara atau sudah mampu membangun hubungan yang tidak lagi hanya sebatas diikat oleh kesepatan profesi atau tugas. Tapi, bisa pula membuat orang seperti musuh bebuyutan.
Peranan Pemimpin & Kepemimpinan
Jika kompetisi sudah berubah menjadi konflik, lebih-lebih yang sudah sampai pada aksi saling merusak, salaing memusuhi, dan saling melakukan pembunuhan karakter, maka keterlibatan seorang pemimpin sangat dibutuhkan. Hampir sangat jarang ada contoh yang membuktikan keberhasilan penyelesaian konflik di organisasi tanpa keterlibatan pemimpin. Mungkin itulah kenapa sampai ada ungkapan yang mengatakan bahwa organisasi itu lebih bagus ada pemimpinnya, meskipun dia bukan orang yang segalanya bagus.
Kita tentu sudah tahu bahwa pemimpin di sini maksudnya bukan semata sosok, melainkan sosok yang menjalankan fungsi kepemimpinan. Kalaupun sosoknya ada,tetapi fungsi kepemimpinannya tidak jalan, seringkali ini kurang berguna. Bahkan bisa-bisa pemimpin itu sendiri yang menjadi sumber konflik. Fungsi kepemimpinan yang sangat dibutuhkan dalam memotong mata rantai konflik itu adalah mengendalikan perbedaan individu dengan mengacu pada nilai dan visi organisasi. Kata Horney (Our Inner Conflict: 1945), setiap orang itu memiliki kebutuhan untuk menyendiri dari orang, mendekati orang, dan melawan orang. Bisa dibayangkan, jika dorongan untuk berbeda dan melawan itu tidak dikendalikan dengan visi dan nilai organisasi, supaya tetap on the track, maka organisasi itu akan menjadi ajang konflik dari perbedaan orang-orangnya. Yang satu begini dan yang lainnya begitu.
Fungsi penting lainnya adalah merumuskan atau menyepakati aturan main dalam organisasi. Dalam konteks ini, aturan main yang perlu digariskan adalah yang menyeimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan. Tumbuh yang tidak merata dapat menimbulkan konflik, lebih-lebih ada pilih kasih, seperti juga merata yang tidak tumbuh: dapat menimbulkan conflict in harmony.
Fungsi lainnya adalah untuk memperkuat kultur yang bertenggang rasa tinggi atau yang kualitas komunikasinya tinggi. Seperti kita tahu, kultur dibentuk dari nilai, pengetahuan, tradisi, aturan, dan lain-lain. Jika merujuk ke sini, semua perusahaan / organisasi punya kultur. Bedanya adalah ada yang kuat, dalam arti yang mempraktekkan semua itu, dan ada yang lemah, atau hanya sekedar himbauan, mestinya, atau masih di tataran baru diidealisasikan, alias belum dipraktekkan. Siapa yang bisa menggerakkan ini kalau bukan pemimpin?
Intinya, fungsi kepemimpinan yang seringkali dapat menyelesaikan konflik adalah yang memutuskan untuk melakukan atau yang mengajak orang-orang menyepakati hal-hal yang akan dilakukan. Kalau hanya memainkan fungsi mengharapkan, menyalahkan konflik, atau menormatifkan, seringkali ini tak bisa mengubah apa-apa.
Bagaimana jika sosok pemimpin seperti itu tidak ada? Jalan lainnya adalah menunjuk satu atau dua orang yang berposisi sebagai penengah. Ini bisa sukses asalkan masing-masing pihak punya kecenderungan untuk berdamai. Tapi jika kecenderungan itu tidak ada, peran penengah sering gagal atau berjalan terseok-seok. Kecenderungan itu harus bisa dibuktikan adanya kesediaan untuk mengalah atau saling memenangkan. Jika kecenderungan itu hanya berupa ucapan, kerapkali ini masih belum cukup.
Apakah Semua Konflik Itu Selalu Jelek?
Kalau kita lihat lagi, konflik pun terkadang menghasilkan dinamika yang baik, meskipun konfliknya sendiri tetap jelek, tidak enak, atau sesuatu yang tidak kita inginkan. Beberapa ciri konflik yang menghasilkan dinamika positif itu antara lain:
* Jika mampu mengungkap borok atau persoalan yang selama ini tersembunyi
* Jika mampu menghasilkan evaluasi yang lebih baik
* Jika mampu membuat orang-orang memahami kenyataan yang sebenarnya
* Jika mampu mendorong orang-orang untuk lebih belajar lagi.
Tapi yang lebih sering terjadi, konflik juga menghasilkan dinamika yang buruk. Beberapa cirinya antara lain:
* Membuat produktivitas orang-orang menjadi anjlok,
* Moralnya menjadi rusak
* Api permusuhan berkobar dimana-mana
* Prilaku orang-orang makin ngawur
* Saling mendemontrasikan sikap konfrontasi.
Ketika sudah begini, kantor adalah satu-satunya tempat yang paling menjadi korban. Orang berangkat ke kantor bukan to work, tetapi to fight, kalah-menang sama-sama jadi abu. Kata orang, jika di sebuah kantor itu ada konflik yang merusak, maka nada dan cara orang mengangkat telepon atau menyambut tamu, sudah beda rasanya.
Disunting dari : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=619
Oleh : Ubaydillah, AN, Jakarta, 28 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar